Menelusuri Warisan Keraton Surakarta: Sejarah Bangunan, Batu Candi, Keris, dan Adat Pernikahan Jawa

Menelusuri Warisan Keraton Surakarta: Sejarah Bangunan, Batu Candi, Keris, dan Adat Pernikahan Jawa

Oleh : Kader PK IMM Averroes FT UMS

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya." – Ir. Soekarno, (Presiden Pertama Indonesia)

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa sejarah adalah fondasi yang membentuk jati diri bangsa. Keraton Surakarta Hadiningrat, salah satu warisan budaya Indonesia, tidak hanya merepresentasikan kekuasaan kerajaan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kosmologi Jawa yang mendalam.

Artikel ini bertujuan mengangkat kembali jejak sejarah dan fakta unik Keraton Surakarta yang mungkin jarang terungkap. Harapannya, tulisan ini mampu memberikan wawasan baru, memperkaya perspektif budaya, dan menggugah rasa ingin tahu pembaca terhadap kekayaan sejarah Nusantara, khususnya warisan Kerajaan Mataram Surakarta.

Keraton Surakarta Hadiningrat bukan sekadar bangunan bersejarah, melainkan saksi bisu pergolakan politik, spiritualitas Jawa, dan pencapaian arsitektural abad ke-18 yang penuh misteri. Berlokasi di jantung Kota Solo, keraton ini didirikan pada tahun 1745 oleh Susuhunan Pakubuwono II sebagai pusat kekuasaan baru setelah hancurnya Keraton Kartasura. Di balik kemegahannya, tersimpan kisah unik dan fakta mencengangkan yang jarang diketahui publik.


Asal-Usul Pembangunan yang Dipimpin Perintah Gaib

Pembangunan Keraton Surakarta tidak dimulai dengan peta arsitektural biasa. Legenda menyebutkan bahwa Susuhunan Pakubuwono II mendapatkan petunjuk gaib langsung dari Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Dalam kondisi terdesak setelah Keraton Kartasura diserbu pada tahun 1742, Sunan bermeditasi di lokasi yang kini menjadi Alun-Alun Utara. Dalam semedinya, ia menerima "wahyu dalem" berupa perintah membangun keraton di titik yang menjadi poros antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, simbol keseimbangan kekuatan maskulin (Merapi) dan feminin (Samudra).

Uniknya, pembangunan keraton tidak dimulai dari bagian tengah atau utama, melainkan dari bagian belakang, yakni kompleks Kedhaton. Hal ini bertentangan dengan kaidah arsitektur umum, namun dianggap sebagai perwujudan filosofi "nguri-uri latar belakang", yaitu menghormati leluhur dan akar budaya Jawa. 


Fakta Unik dan Mistis Keraton Surakarta

Keraton Surakarta kaya akan cerita mistis dan fenomena yang sulit dijelaskan nalar:

·     Tiang Tumpang Sari yang Tidak Pernah Berdebu: Di Pendopo Ageng Keraton, terdapat tiang utama (soko guru) yang konon tidak pernah berdebu meskipun tidak dibersihkan bertahun-tahun. Masyarakat percaya ini adalah perlindungan gaib dari para leluhur dan roh penjaga keraton.

·    Gerbang Kori Kamandungan yang Tidak Bisa Difoto Sembarangan: Gerbang utama keraton ini dipercaya memiliki kekuatan metafisik tinggi. Banyak fotografer yang mengaku hasil fotonya buram atau rusak saat memotret gerbang ini tanpa izin atau tidak dalam kondisi "suci batin". Hal ini memperkuat kepercayaan bahwa Keraton dijaga oleh makhluk astral yang setia pada dinasti Mataram.

·     Penggunaan Material dari Hutan Wingit: Kayu jati utama yang digunakan untuk membangun keraton dikabarkan berasal dari Alas Donoloyo dan Alas Purwo, dua hutan yang dikenal keramat di Jawa. Para pekerja pembangunan bahkan diharuskan berpuasa dan bertapa sebelum menebang pohon, agar tidak mengundang bala dan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

·    Cermin Watu Gilang dan Lantai dari Batu Meteor: Di salah satu ruang dalam keraton, terdapat lempengan batu hitam mengilap yang disebut Watu Gilang. Batu ini dipercaya berasal dari batu meteor dan digunakan sebagai "cermin jiwa" para raja. Hanya orang yang berhati bersih yang bisa melihat pantulan wajahnya dengan jelas di batu ini.

·    Poros Imajinasi Magis (Merapi-Keraton-Segoro Kidul): Keraton Surakarta, Gunung Merapi, dan Pantai Parangtritis membentuk satu garis lurus dalam peta topografi Jawa. Poros ini tidak hanya kebetulan geografis, tetapi juga menggambarkan hubungan kosmologis antara dunia atas (dewa), dunia tengah (manusia), dan dunia bawah (makhluk halus). Susunan ini dipercaya menjadi sumber kekuatan spiritual raja sebagai "titahing Gusti" atau wakil Tuhan di bumi. 


Koleksi Ikonis: Kereta Kencana Keraton Surakarta

Keraton Surakarta memiliki koleksi kereta kencana yang kaya akan nilai historis dan simbolis:

·        Akar Historis dan Koleksi Utama:

Kereta Kyai Krido adalah kereta tertua yang digunakan Pakubuwono II pada tahun 1745 saat pemindahan ibu kota dari Kartasura ke Surakarta. Uniknya, kereta ini ditarik delapan kerbau karena medan yang berat, bukan kuda. Replika Kyai Krido kini dipamerkan di Museum Keraton Surakarta.

Kereta Kyai Garuda (1726) merupakan persembahan VOC kepada Pakubuwono II. Desainnya serupa dengan kereta Kanjeng Nyai Jimat di Keraton Yogyakarta, menandai hubungan politik pasca-Perjanjian Giyanti 1755.

Secara keseluruhan, Keraton menyimpan 17 kereta kencana, termasuk Garuda Kencana (untuk raja) dan Garuda Putra (untuk putra mahkota). Kereta Garuda Kencana dihiasi emas dan ditarik delapan kuda, sementara Garuda Putra digunakan dalam Kirab Agung.

·        Fungsi Simbolik dan Ritual:

Legitimasi Kekuasaan: Dalam Tingalan Jumenengan (peringatan penobatan), kereta menjadi alat teatrikal yang menegaskan kewibawaan raja. Contohnya pada tahun 2025, PB XIII dan permaisuri berkirab dengan kereta delapan kuda, diiringi 12 kereta lain.

Stratifikasi Sosial: Masyarakat Jawa klasik mengenal hierarki kepemilikan kereta. Andong (kereta rakyat) dimiliki oleh priyayi kaya, sementara kereta kencana eksklusif untuk bangsawan.

Filosofi Perawatan: Mirip ritual Jamasan di Yogyakarta, kereta Surakarta dibersihkan dengan air kembang setaman oleh abdi dalem Kanca Rata sebagai bentuk pemuliaan pusaka.

·        Transformasi Menuju Wisata Budaya:

Dokar Wisata: Di Alun-Alun Kidul, wisatawan dapat menaiki andong keliling kompleks keraton dengan tarif sekitar Rp100.000 per kereta. Rutenya meliputi Baluwarti, Alun-Alun Kidul (lokasi kerbau bule), dan Kori Kamandungan.

Museum Keraton: Menampilkan 17 kereta kencana dengan tiket terjangkau (Rp10.000–Rp15.000). Ruang kereta raja memamerkan Kyai Garuda, Garuda Putra, dan Kyai Morosebo kereta harian Pakubuwono III dengan ukiran kayu jati yang rumit.

Adaptasi Modern: Andong beralih fungsi dari transportasi logistik menjadi objek wisata. Kusir seperti Sri Priatmojo menawarkan tur fleksibel dengan tarif Rp100.000–Rp200.000, lengkap dengan pemberhentian di spot foto ikonis.

·        Eksistensi dalam Tantangan Zaman:

Pelestarian Material: Kayu jati dipilih sebagai bahan utama karena filosofi "kesejatian hidup". Perawatan harian oleh abdi dalem meliputi penutupan kereta dengan kain putih untuk menghindari debu.

Prosesi Kontemporer: Pada Kirab Agung 2023, kereta Garuda Putra bahkan membawa figur publik seperti Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan integrasi budaya dengan politik modern.

Filosofi Roda: Seorang kusir andong senior menjelaskan: "Roda depan-belakang andong berbeda ukuran, seperti siklus hidup manusia: lahir kecil, membesar, lalu kembali ke asal".


Mengenal Batu Candi dan Keris di Museum Keraton Surakarta

Museum Keraton Surakarta juga menyimpan artefak penting yang terkait dengan sejarah Jawa:

·        Batu Candi

Jaladwara: Batu yang berfungsi sebagai saluran pembuangan air suci dari dalam bilik candi ke luar. Berasal dari candi-candi Hindu–Buddha di Jawa Tengah seperti Kalasan, Plaosan, dan Prambanan, dibuat pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Ditemukan sebagai fragmen akibat kerusakan bangunan oleh waktu dan disimpan di museum ini.

Fragmen Candi Bagian Sudut: Pecahan sudut bangunan candi kuno yang berfungsi sebagai penopang struktur dan ornamen. Dipahat dari batu andesit oleh seniman candi masa Mataram Kuno, ditemukan dari reruntuhan candi dan dikoleksi untuk pelestarian warisan leluhur.

·        Keris

Perisai Keraton dan Keris Pendamping: Perisai Keraton adalah simbol perlindungan dan kekuasaan, terbuat dari logam atau kulit dengan ukiran khas, digunakan dalam prosesi upacara sebagai pelindung raja secara fisik dan spiritual. Keris Pendamping adalah keris kecil pelengkap keris utama, berfungsi sebagai penyeimbang energi dan pelindung tambahan dalam tradisi spiritual Jawa.

Kyai Naga Siluman: Keris pusaka legendaris yang kini menjadi koleksi Pura Mangkunegaran. Melambangkan kekuatan, kepemimpinan, dan kesaktian spiritual. Filosofinya mendalam—naga yang menyatu dalam bilah melambangkan bahwa kekuasaan hanyalah titipan, sementara mulut naga yang terbuka dan disumbat emas menjadi pengingat bahwa kehormatan seorang pemimpin terletak pada tutur katanya. Keris ini diyakini pernah dimiliki oleh Pangeran Diponegoro dan digunakan dalam Perang Jawa (1825–1830). Setelah dirampas Belanda dan dibawa ke Eropa, keris ini akhirnya dikembalikan ke Indonesia pada tahun 2020 dan kini disimpan di Mangkunegaran sebagai warisan sejarah dan budaya yang sangat berharga.

Penutup

Keraton Surakarta bukan sekadar bangunan tua nan megah, melainkan penjaga peradaban Jawa yang mengandung nilai spiritual, seni, dan sejarah luar biasa. Fakta-fakta unik dan misteri yang menyelimutinya menunjukkan bahwa budaya Indonesia tak hanya indah, tetapi juga sarat makna.

Semoga artikel ini tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga inspirasi untuk terus mencintai, menjaga, dan mewariskan sejarah kepada generasi berikutnya.

"Apa yang tidak diketahui orang hari ini, bisa menjadi warisan berharga jika kita merawatnya dengan pengetahuan." – Pramoedya Ananta Toer (Sastrawan dan Sejarawan Indonesia Terkemuka)

 

 

Lebih baru Lebih lama