Animal Farm: Wajah Revolusi yang Dikhianati

Animal Farm: Wajah Revolusi yang Dikhianati

Oleh : F.R Elhan (Anggota Bidang RPK PK IMM Averroes)


Perubahan adalah harapan yang tak pernah padam. Ia terus hidup di hati mereka yang ditindas, disingkirkan, dan dibungkam. Dari ruang-ruang sempit pemukiman kota hingga ruang kelas universitas, harapan akan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan selalu tumbuh. Namun sejarah menunjukkan bahwa perubahan yang diperjuangkan dengan susah payah, tidak jarang berakhir pada pengkhianatan. Cita-cita kolektif sering direbut oleh segelintir orang yang haus kuasa. George Orwell, dalam novelnya Animal Farm, menggambarkan dengan tepat bagaimana revolusi bisa dikhianati oleh mereka yang justru muncul dari rahim perjuangan itu sendiri.

Dalam kisah Orwell, binatang-binatang di Peternakan Manor memberontak terhadap pemilik manusia yang mereka anggap kejam dan eksploitatif. Mereka menumbangkan kekuasaan itu, membentuk tatanan baru yang diidealkan setara dan adil, dan mengangkat semboyan revolusi: "Semua hewan setara". Awalnya mereka bekerja bersama, tanpa hierarki dan dominasi. Namun lambat laun, babi-babi—terutama Napoleon—memegang kendali. Mereka merevisi sejarah, menghapus jejak keadilan, dan menindas hewan-hewan lain melalui kekuasaan yang dikonsolidasikan dengan kejam.

Napoleon tidak bekerja sendiri. Ia mengandalkan sekelompok anjing buas yang dibesarkan khusus sebagai alat represif. Anjing-anjing ini adalah representasi kekuatan militer—kekuatan koersif negara yang menjadi tulang punggung pengamanan kekuasaan elit. Dalam konteks Indonesia, anjing-anjing Napoleon bisa disandingkan secara analogis dengan militer yang dilegalkan dalam fungsi domestik melalui regulasi seperti Undang-Undang TNI.

Setelah Reformasi 1998, militer seharusnya kembali ke barak dan netral dalam politik. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Meski secara formal militer telah dipisahkan dari urusan sipil, peranannya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa tetap kuat, baik secara struktural maupun kultural. Salah satu kritik utama terhadap UU TNI adalah ketidakjelasan batas sipil-militer, serta ruang interpretasi yang memungkinkan keterlibatan militer dalam ranah nonpertahanan seperti penanganan keamanan dalam negeri. Ini memberi peluang hadirnya “anjing-anjing” modern—alat kekuasaan yang berpihak bukan pada rakyat, tetapi pada pemilik kekuasaan itu sendiri.

Reformasi 1998 sendiri menjadi contoh nyata tentang bagaimana cita-cita luhur bisa dikhianati oleh elit baru. Kala itu, mahasiswa menjadi garda depan. Mereka melawan Orde Baru dengan semangat kolektif, mengedepankan idealisme tanpa pamrih. Tidak ada tokoh tunggal, tidak ada keinginan kuasa. Yang ada hanyalah semangat untuk menumbangkan kediktatoran dan membangun sistem demokratis yang sehat. Namun pasca Soeharto lengser, babi-babi baru mulai bermunculan. Mereka lahir dari tubuh reformasi, namun pelan-pelan menyingkirkan semangat awalnya.

Kini, kita melihat politik uang menjadi biasa, politik dinasti makin mapan, dan ruang sipil semakin sempit. Banyak tokoh reformasi yang kini duduk nyaman dalam sistem yang dahulu mereka kritik. Di sisi lain, mahasiswa seperti kehilangan ruhnya. Gerakan kolektif terpecah, kritik dibungkam oleh atmosfer pragmatisme, dan perlawanan direduksi menjadi konten media sosial. Seperti hewan-hewan di Animal Farm yang akhirnya tak bisa membedakan antara babi dan manusia, kita pun kerap tak lagi bisa membedakan antara pejuang dan penguasa.

Apa yang terjadi di Peternakan Manor adalah refleksi dari kegagalan menjaga semangat kolektif dan kontrol terhadap kekuasaan. Ketika perjuangan hanya berpusat pada individu atau sekelompok elit, maka jalan menuju pengkhianatan terbuka lebar. Begitu pula dalam gerakan mahasiswa: jika dibiarkan bergantung pada tokoh karismatik semata, tanpa basis ide dan kesadaran massa, maka gerakan itu akan mudah ditunggangi, digiring, dan dibungkam.

Militerisme dalam novel Orwell menunjukkan bagaimana kekuasaan mempertahankan dirinya dengan kekerasan dan ketakutan. Napoleon tidak pernah membuka ruang kritik. Siapa pun yang berseberangan akan diintimidasi atau dihabisi. Ini adalah bentuk paling klasik dari kontrol otoriter: kekuatan represif yang loyal, bukan pada konstitusi, tetapi pada individu yang berkuasa. Mirip dengan kekhawatiran terhadap perkembangan politik Indonesia saat ini, di mana aparat kadang menjadi alat pembungkam alih-alih pelindung.

Dalam demokrasi yang sehat, kontrol sipil atas militer adalah prinsip utama. Tapi jika militer, secara de facto, masih dapat digunakan untuk kepentingan elit politik, maka kita sedang menghidupkan kembali anjing-anjing Napoleon dalam bentuk modern. Dan sayangnya, rakyat (dan mahasiswa) kadang ikut diam, atau bahkan mendukung atas nama stabilitas dan keamanan.

Orwell juga menyoroti pentingnya memori kolektif. Di Animal Farm, sejarah diubah sesuka hati oleh elit. Slogan-slogan direvisi, fakta disangkal, dan generasi muda diajarkan narasi baru yang telah dimanipulasi. Dalam konteks kita, ini bisa disandingkan dengan pelupaan terhadap nilai-nilai reformasi. Banyak generasi muda tidak lagi tahu bahwa tuntutan reformasi bukan hanya soal turunnya Soeharto, tapi juga penghapusan dwifungsi ABRI, penguatan supremasi sipil, desentralisasi kekuasaan, dan pemberantasan korupsi. Ketika memori kolektif hilang, maka kekuasaan bisa dengan mudah membajak sejarah.

Esai ini bukan ajakan untuk membenci militer atau pemerintah. Sebaliknya, ini adalah seruan agar kita, terutama mahasiswa dan generasi muda, menjaga semangat kritis. Jangan biarkan perubahan hanya berhenti pada simbol. Jangan puas pada wajah baru jika sistem lama masih bekerja dengan cara yang sama. Militer harus profesional dan tunduk pada konstitusi, bukan pada elit politik. Rakyat harus menjadi pengawas, bukan penonton.

Animal Farm tidak memberikan akhir yang bahagia. Ia menyisakan duka, frustrasi, dan ironi. Tapi kita masih bisa memilih jalur berbeda. Dengan menolak lupa, menjaga akal sehat, dan membangun gerakan kolektif yang bebas dari kultus individu, kita bisa menghindari pengkhianatan berikutnya.

Di tengah zaman di mana informasi bisa direkayasa, opini bisa dibeli, dan kekuasaan bisa menindas secara halus, kita perlu bersikap seperti Benjamin, si keledai tua yang tetap mengamati dan mengingat segalanya. Jangan menjadi domba yang hanya mengulang slogan. Jangan jadi kuda Boxer yang setia tapi buta. Jadilah manusia—dalam makna tertingginya—yang berpikir, bertanya, dan tak mudah tunduk.

Reformasi adalah proses yang belum selesai. Jika kita membiarkan anjing-anjing kekuasaan menggonggong tanpa kendali, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali pada peternakan yang sama—hanya dengan pagar dan wajah berbeda.


Lebih baru Lebih lama