Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur dari “Guru Kedua”



 Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur dari “Guru Kedua”

            Dewasa ini, ada banyak anggapan tentang Politik itu seperti apa, ada yang beranggapan politik hanya mainan kaum elit, ada lagi yang menganggap politik adalah alat bebas nilai dan ada dimana-mana. Repot lagi ketika membahas sistem dan bentuk Negara, bisa jadi debat kusir dan ditanggap warga seindonesia. Pandangan politik yang akan sedikit diuraikan dalam tulisan ini adalah milik al-Farabi yang juga dikenal sebagai “Guru kedua Filsafat” karena jasanya dalam dunia filsafat islam.

Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bi Tarkhan al-Farabi dan dipanggil al-Farabi sesuai dengan nama desa tempat kelahirannya di Farab, Turkistan pada 870 M/ 257 H. Pada awalnya ia belajar di Khurasan kemudian berdiam diri di Baghdad dan kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di bawah Wali Negri Aleppo, disana ia tinggal di istana Syafid Daulah dan kedatangannya merubah suasana istana karena perhatian al-Farabi disana lebih berpusat kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Di istana tersebut ia mulai bertemu dengan para penyair, sastrawan, ahli bahasa, ahli pikir dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu hal yang membuat al-Farabi terkenal adalah penguasaannya terhadap filsafat Plato dan Aristoteles, ia bahkan membuat sebuah buku yang mempertemukan pemikiran kedua filsuf besar tersebut, Ibn Sina mengatakan bahwa ia baru dapat memahami pemikiran metafisika Aristoteles setelah membaca buku gubahan al-farabi setelah sebelumnya ia gagal memahaminya lewat buku milik Aristoteles langsung walau sudah membacanya sebanyak 40 kali. Pembacaan-nya terhadap kedua filsuf tersebut yang nantinya mempengaruhi ide-ide pemikiran dari al-Farabi ini, seperti teori emanasinya yang terinspirasi dari trinitas Plotinus seorang Neoplatonis dan lain sebagainya. Ia juga mendapat julukan “Guru Kedua Filsafat” yang diperkirakan karena ia adalah orang pertama yang mengenalkan teori  tentang logika kedalam dunia islam sebagaimana Aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama” karena memunculkan teori logika.

Sebenarnya ide yang paling menarik dari al-Farabi adalah teori emanasi atau pancaran, namun penulis memberi spoiler bahwa hal tersebut tidak dibahas dalam tulisan ini karena akan sulit untuk menguraikan teori tersebut kedalam sebuah tulisan singkat semacam ini. sebelum masuk ke pandangan politiknya ada baiknya untuk mengetahui konsep epistemologi-nya yang berpendapat bahwa sumber dari segala ilmu bukanlah dari rasio maupun realitas manapun, tetapi dari intelek aktif (al-aql al-fa’al) yang merupakan perantara adikodrati yang dapat membuat manusia mengaktualisasikan pemahamannya. Al-Farabi menganalogikannya dengan matahari pada mata dalam kegelapan. Mata hanyalah penglihatan potensial selama dalam kegelapan dan mataharilah yang mengaktualisasikan penglihatan tersebut dengan memacarkan cahaya kepada objek-objek yang nantinya dapat dilihat oleh mata, selain objek yang disinari oleh matahari, mata juga dapat melihat sinar itu sendiri dan matahari yang menjadi sumber cahayanya. Al-farabi mengidentifikasikan intelek ini sebagai ruh al-quds atau jibril yang merupakan malaikat pembawa wahyu tuhan. Dan kondisi dimana manusia dapat bertemu dengan intelek aktif adalah kondisi dimana manusia telah mencapai tingkat wujud tertinggi dan menjadi manusia yang hakiki. Kondisi ini dapat dicapai manusia ketika telah memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya sehingga telah mencapai al-aql al- musthafad atau intelek perolehan yang mana ia dapat bertemu dengan akal aktif.

Masuk ke pandangan politik al-Farabi yang terkenal dengan gagasan Negeri Utama yang merupakan sebuah Negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sesuai dengan firman Allah dalam QS. Saba’: 15 . Untuk terbentuknya sebuah Negeri Utama, al-Farabi menitik beratkan kepada kepala Negaranya yang menjadi sumber keputusan dan keharmonisan didalam masyarakatnya. Al-Farabi memberikan syarat seseorang untuk menjadi kepala Negara untuk mencapai sebuah Negeri Utama, yakni sehat, kuat, pintar, cinta ilmu pengetahuan dan syarat yang paling utama adalah telah mencapai tingkatan intelek tertinggi yakni al-aql al-musthafad yang berarti dapat berkomunikasi dengan intelek aktif. Dari pemaparan tersebut dapak di tarik kesimpulan bahwa konsep Negara yang dibawa al-Farabi adalah Autokrasi yang berarti kepala Negara memilki kekuasaan mutlak untuk mengatur negaranya. Dari hal-hal tadi nampak adanya kesamaan pemikiran al-Farabi dengan Plato dan Aristoteles tentang seorang pemimpin Negara, Plato beranggapan seorang pemimpin Negara harus sama seperti Socrates karena ia menganggap bahwa Socrates telah mencapai ide tertinggi dan untuk menjadi pemimpin yang bijak seseorang harus dapat mencapai hal tersebut dan dari pandangan ini munculah pemikiran tentang konsep Negara yang ideal bagi plato yakni Aristokrasi. Sedangkan Aristoteles menganggap bahwa bentuk Negara yang paling ideal adalah Monarki yang mana dipimpin oleh seorang yang paling bijaksana dan memihak kepada kepentingan bersama, namun, menurut aristoteles konsep Negara ini mustahil di wujudkan dan menurutknya konsep Negara yang baik dan paling mungkin terjadi adalah Demokrasi sebagai jalan tengah.

Selain konsep Negeri Utama, al-Farabi juga Negeri Jahiliah dan Negeri Fasiqah. Negeri Jahiliah adalah gambaran sebuah kota yang tidak baik, rakyatnya tidak berpengetahuan dan hanya mencari kesenangan saja. Dan Negeri Fasiqah adalah gambaran negeri dimana rakyatnya memilki pengetahuan yang sama dengan Negeri Utama namun memilki perilaku seperti Negeri Jahiliah. Sekarang pertanyaannya, Indonesia ada di posisi mana? Apakah sudah hampir mencapai Negeri Utama? Atau malah masih di Jahiliah?.





Penulis :
Immawan Atsiruddin Priza Aufar
(Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM AVERROES FT UMS 2019/2020)
Lebih baru Lebih lama