Alkulturasi Islam dengan Budaya Jawa oleh Kasultanan Mataram

IMMawan Rohmad Mucharom

Berbicara mengenai alkulturasi Islam dengan Budaya harusnya sudah tidak asing lagi bagi umat muslim di Indonesia. Dalam banyak literatur seperti buku, film dan media lain diceritakan bahwa salah satu strategi dakwah orang-orang Islam terdahulu adalah dengan menyelipkan nilai-nilai islam dalam kebudayaan. Hal tersebut di nilai efektif dikarenakan budaya memang amat dekat dengan kehidupan masyarakat.

Sejarah mencatat bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Samudra Pasai dan untuk di Pulau Jawa kerajaan Islam pertama adalah Kasultanan Demak Bintoro. Kita lompat lansung ke masa Kasultanan Mataram kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Mataram mengalami masa kejayaan Ketika cucu dari Panembahan Senopati naik tahta yaitu Susuhunan Agung Pranotogomo atau lebih dikenal sebagai Sultan Agung. Wilayah kekuasaannya meliputi Pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia sampai ke beberapa wilayah Pulau Sumatera.

Berbicara mengenai alkulturasi Islam dengan budaya Jawa oleh Kesultanan Mataram kita akan membahas peran dari seorang Sultan Agung yang menciptakan berbagai kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islami. Orang yang amat mengandrungi kebudayaan Arab dan Turki pada masanya. Seorang raja yang amat pandai dalam strategi dakwah.

Berawal dari keresahan Sultan Agung karena kondisi rakyat Mataram pada masa itu dimana seperti ada jarak antara masyarakat pesisir pantai dan masyarakat pedalaman. Karena masyarakat pesisir pantai pada waktu itu sudah banyak yang mengenal Islam maka mereka menggunakan kalender hijriah untuk penanggalan waktu. Sementara masyarakat pedalaman pada waktu itu masih menggunakan kalender saka sebagai penanggalan waktu. Dengan kebijaksanaan Sultan Agung maka beliau memutuskan untuk memadukan dua penanggalan tersebut. Dengan meneruskan tahun Jawa/Saka tetapi sistemnya di ubah menjadi Hijriah. Kemudian beliau menata pranoto mongso untuk mengenali musim. Karena masyarakat pedalaman biasa mengenali musim dengan kalender saka. Hal yang membuktikan kejeniusan dari Sultan Agung adalah jika dibandingkan dengan kalender hisab Muhammadiyah, kalender Sultan Agung itu keakuratanya terhadap rukyat lebih tinggi.

Kemudian Sultan Agung pula yang membuat Bahasa Jawa seperti yang kita kenal saat ini. Kita mengenal istilah Bahasa Jawa (kromo inggil, Kromo alus, dan Ngoko). Menurut sejarah Bahasa jawa aitu awalnya tidak ada vokal “O” adanya vokal “A” tetapi karena Sultan Agung suka sesuatu yang berbau kearab-araban seperti huruf  kho,dho,tho,rom atau Bahasa Jawa di ubah dengan vokal “O”. Bahasa Jawa yang asli adalah Bahasa yang digunakan oleh saudara kita di Banyumas (ngapak). Maka dari itu kenapa kosa kata Bahasa Jawa itu paling banyak dari Bahasa lain. Karena Sultan Agung pula Bahasa Sunda berubah jadi Sunda Unda dan Sunda Usuk. Karena Sultan Agung pula daerah Banjar, Jambi, Palembang yang semula berbahasa Melayu menjadi ada vokal “O” nya (wong kito galo). Karena pada waktu itu Daulat Sultan Agung diakui sampai Jambi, Palembang, dan Sukadana Kalimantan Barat.

Dalam buku Babad Tanah Jawa diterangkan bahwa Sultan Agung pernah dikenalkan nasi Mandhi oleh orang Arab dab beliau langsung suka pada makanan itu lalu membuatnya dalam versi Jawa. Nasi Arab versi Jawa yang dibuat Sultan Agung dikenal dengan nama Sego Wudhu atau nasi Wudhu. Dalam pengucapan lidah orang Jawa disebut sego wuduk. Sego wuduk adalah nasi yang dimasak dengan campuran santar dan diberi rasa gurih sebagaimana nasi Mandhi pada umumnya berasa gurih. Karena di Jawa adanya santan di pakailah santan sebagai campuran beras Ketika dimasak agar rasanya gurih. Beras itu putih dan santan itu putih, putih ketemu putih adalah simbol kesucian atau taharah. Nasi wuduk biasanya di lengkapi dengan lauk ingkung. Ingkung digunakan sebagai lambang atau filosifi orang sholat. Arti kata ingkung sendiri berarti iling nyekungkung atau ingat sujud. Karena jika diamati sekilas, ayam ingkung memang menyerupai orang sujud (sholat). Dalam Bahasa Jawa nyekungkung juga dapat diartikan mati. Maka ikung juga menjadi lambing pengingat kematian (dzikrulmaut). Menu pelengkap lainya adalah sambel gepleng. Sambel gepleng terdiri dari kedelai yang di tumbuk lalu di ulek Bersama cabe, garam dan bawang. Kata gepleng diartikan sregep geleng-geleng atau rajin geleng-geleng yang dimaknai sebagai pengingat manusia agar sering berdzikir. Jadi dalam makanan orang Jawa itu nasinya sebagai pengingat thaharah, lauknya pengingat sholat dan sambelnya pengingat dzikir. Nasi wuduk pula yang digunakan sebagai bekal makanan Ketika mataram menyerang Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629. Dan oleh orang Betawi nasi wuduk ditambahi beraneka macam lauk hingga kita kenal sekarang sebagai nasi uduk.

Kemudian Sultan Agung juga membuat pakaian yang dikenal sebagai Rasukan Taqwa atau pakaian taqwa. Makna taqwa yang pertama menurut orang Jawa adalah hati-hati. Seperti percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka'ab ini. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, "Wahai Ubay, apa makna taqwa?" Ubay yang ditanya justru balik bertanya. "Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?" Umar menjawab, "Tentu saja pernah." "Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?" lanjut Ubay bertanya. "Tentu saja aku akan berjalan hati-hati," jawab Umar. Ubay lantas berkata, "Itulah hakikat taqwa". Bahasa Jawa dari hati-hati adalah curiga maka simbolnya adalah keris yang di selipkan dibelakang. Karena dia adalah symbol kehati-hatian atau kewaspadaan yang harus selalu di jaga. Makna taqwa yang kedua menurut orang jawa adalah menahan dan yang di tahan adalah syahwat dari perut dan kemaluan. Untuk menahan syahwat perut dan kemaluan agar tidak liar dan di umbar umbar maka harus di bebet, di bebat.

“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Allah dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” (An-Nazi’at ayat 40-41)

Maka simbolnya adalah bebetan karena agar syahwatnya di tahan. Kemudian yang mengikat perut adalah stagen yang diberi sabuki Bernama kamus timang. Karena yang bisa mengikat syahwat adalah ilmu. Dan kenapa namanya kamus, itu karena ilmu yang pertama kali diajarkan Allah kepada nabi Adam adalah nama-nama dan kosa kata. Kamus ini dikaitkan dengan timang yang bermakna utlubul 'ilma munal mahdi ilal lahdi yang artinya carilah ilmu dari timangan sampai ke liang lahat. Orang yang selalu bebetan dan tagenan In Syaa Allah tidak akan gemuk karena syahwat perutnya terjaga, dan syahwat kemaluannya juga seharusnya terjaga.[1]

Seseorang dikatakan bertaqwa yang ketiga menurut orang Jawa adalah harus meneladani nabi Muhammad. Dia harus menjadi sirajan muniran,yaitu cahaya yang menerangi umat manusia yang hidup dalam kegelapan dengan ajaran islam. Menjadi teladan yang baik bagi orang lain baik siang ataupun malam maka dari itu nama bajunya adalah sorjan. Lalu untuk menjadi teladan untuk orang lain maka dia harus lurus. Oleh karena itu, sorjan biasanya bermotif garis lurus. Motif sorjan biasanya berjumlah 3 warna. Hal itu dikarenakan yang harus lurus dari manusia itu ada 3. Tidak lurus amal seseorang sampai lurus hatinya, tidak lurus hati seseorang sampai lurus pikirannya dan tidak lurus pikiran seseorang sampai lurus mulutnya. Oleh karena itu, harus di mulai dari meluruskan lisan kemudian meluruskan pikiran dan baru lurus hatinya. Pada kerah surjan pasti ada tiga kancing di setiap sisinya yang jika di jumlah akan berjumlah enam. Karena enam adalah jumlah rukun iman dan iman harus mengikat di leher sebagai akidah sampai nafas tinggal di kerongkongan. Pada lengan ada lima kancing yang merupakan symbol rukun islam. Rukun islam itu harus di jalankan maka dari itu letak simbolnya di tangan. Lalu  ada Samir yang di sampirkan pada leher sampai ke pinggang sebagai wujud tanggung jawab. Karena taqwa itu kelak akan dimintai pertanggung jawaban.


Kemudian untuk penutup kepala dulunya menggunakan sorban sebagai mana orang Arab. Namun karena dirasa ribet dan lama dibuatlah sorban siap pakai versi Jawa yang di sebut Blangkon yang pada bagian belakanya di ikat. Jumlah ikatan pada blangkon berjumalah dua yang bermakna dua kalimat syahadat "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah" symbol ketauhidan. Dibagian belakang blangkon pula terdapat mendolan yang bermakna payung pengayoman bagi orang lain. Pada bagian depan blangkon terdapat tujuh belas lipatan di setiap sisinya yang bermakna tujuh belas rokaat sholat wajib sehari semalam.[2]

Kesimpulannya, sebenarnya dalam budaya Jawa itu terdapat banyak hal-hal islami dalam bentuk simbol-simbol. Dari kelendernya, bahasanya, makanannya, pakaiaannya. Orang-orang terdahulu lebih menggunakan simbol-simbol dalam dakwah tidak luput karena kondisi sosial politik pada waktu itu di Indonesia dan khususnya tanah Jawa memang sedang dalam belenggu penjajahan Belanda. Maka dirasa simbol-simbol adalah hal yang lebih efektif untuk berdakwah dari pada buku yang sewaktu-waktu bisa di bakar oleh Belanda. Namun sayangnya dimasa sekarang sangat sedikit orang-orang yang tau serta paham akan simbol-simbol islami dalam budaya Jawa.



[1] https://www.youtube.com/watch?v=rUHuVibouwQ&t=19s

[2] https://www.youtube.com/watch?v=QD2gRZh4Ans&feature=youtu.be