Benarkah Tuhan itu ada?
Oleh : ROHMAD MUCHAROM
Jawaban atas pertanyaan apakah Tuhan
itu ada tergantung pada kesadaran kita mengenal kata “ada”. Jika ada berarti
kenyataan yang harus meiliki gatra atau bentuk fisik, sudah jelas jawabannya
Tuhan memang tidak ada. Karena dengan menggunakan instrument apapun. Tidak
pernah ada yang bisa melihat atau menyaksikan sosok Tuhan.
Jika “ada” diperluas hingga meliputi
kasunyatan metafisik, pernyataan Tuhan ada atau tidak tergantung pada kesadaran
pengertian mengenai Tuhan itu sendiri. Bagi yang berkesadaran bahwa Tuhan
adalah Pribadi dengan keberadaan metafisik dan secara sederhana kita
mengategorikan mereka sebagai penganut kepercayaan Tuhan sebagai personal ada
teks kuno yang menyatakan Tuhan itu ada.
Tuhan sebagaimana di uraikan oleh
Eyang Josono adalah sumber segala keberadaan yang terlihat maupun tak terlihat.
Tuhan adalah pemelihara semesta beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Dan sejatinya Ia realitas tanpa sosok yang melampaui keberadaan jagat ray aitu
sendiri. Leluhur nusantara yang menjelaskan keberadaan Tuhan sebagai Kang Akarya
Jagad, Kang Murbeng Dumadi.
Tuhan dan jagat raya adalah realitas
yang tak terpisahkan meskipun bisa di bedakan. Tuhan bukanlah sosok yang
terpisah dari keberadaan ciptaanNya. Tuhan adalah keberadaan tanpa batas yang
menjadi daya hidup dan daya kreatif dari segala yang ada. Dialah kekosongan
yang meliputi segalanya. Setiap partikel yang Menyusun jagat raya muncul dari
kekosongan yang penuh misteri, sekaligus mencerminkan karakter kekosongan itu
sebagai realitas yang Mahasadar dan penuh kecerdasan. Dalam segala keberadaan,
mulai dari debu hingga galaksi raksasa.
Sementara itu,setiap benda semesta
terdiri atas atom. Pada setiap atom, keberadaan terbesar adalah ruang kosong.
Di antara inti atom dan electron yang mengelilingi terdapat ruang kosong. Saat
atom di belah disebut quark. Dika terus di belah ujungnya adalah ruang kosong.
Jadi ruang kosong menjadi inti
segalanya, dan meliputi segalanya. Kekosongan inilah yang di namai SUWUNG,
inilah TUhan. Maka, Kembali ke pertanyaan apakah Tuhan itu ada, bisa di
tegaskan bahwa Tuhan ada sebagai SUWUNG.
Sang Suwung adalah Sang Hidup yang
menjadi dikenali, terang, dan nyata dalam gatra seluruh keberadaan. Daya
kehidupan mengalir dari kekosongan menuju seluruh keberadaan dan menghidupkan
semua keberadaan itu. Semua terhubung. Pada tataran energi yang paling murni,
semua keberadaan sejatinya tunggal, menyatu tanpa batas.
Setiap manusia tanpa terkecuali
adalah penejawantahan Sang Suwung yang paripurna. Pada tataran esensi, Sang
Suwung mengejawantah sebagai roh/atman/sukma sejati yang Mahasadar. Karena
itulah kuasa dan wewenang Sang Suwung melekat pada manusia sejauh keterhubungan
dan kejumbuhan manusia dengan-Nya. Pada tataran ragawi, manusia adalah
miniature jagat raya. Apa yang ada pada jagat raya juga ada pada manusia. Empat
unsur utama kosmik secara proporsional menjadi pembentuk raga manusia: api,
air, tanah, dan udara.
Sang Suwung bekerja pada jagat raya
sebagai energi pencipta, pemelihara, dan peluruh dalam ritme yang harmonis.
Manusia yang jumbuh dengan Sang Suwung bisa merealisasikan karakter ini
sehingga menjadi pribadi yang konstruktif dan menebar harmoni. Tetapi manusia diberi anugrah freewiil
dan fasilitas angkara/nafsu/daya dorong ragawi beserta daya untuk
memenuhinya dalam kapasitas tertentu. Dengan itu manusia bisa memilih untuk
menjadi pribadi desdruktif yang menebar disharmonis. Atau berlaku harmonis
memayu hayuning bawana.
Sang Suwung yang mengejawantah
sebagai roh/atman/sukma sayekti memberikan tuntunan lewat getaran atau
suara tanpa rupa yang muncul dari relung jiwa manusia dijuluki juga telenging
manah atau susuhing angin. Jika manusia mengikuti tuntunan ini
terjadilah fungsi hamemayu hayuning bawana. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi,
dan ini dimungkinkan, manusia bisa membuat kerusakan di muka bumi. Dampak
kerusakan itu sesuai dengan tingkat daya atau energi yang bisa diakses. Semakin
besar energi yang bisa diakses, maka semakin besar pula daya rusak.
Demikianlah, dengan freewill
yang bisa dimiliki, menusia bisa membangun perdaban sekaligus menghancurkannya.
Apa yang terjadi diplanet bumi dengan rentang waktu yang bagitu Panjang, dimana
terjadi pasang surut peradaban manusia termasuk kemusnahan ras akibat bencana
besar adalah cerminan keberadaan manusia yang memang memiliki kuasa dan
wewenang untuk mencipta, memelihara, atau meluruhkan dan menghancurkan.
Manusia, sebagai pengejawantahan
Sang Suwung, hidup dengan kehendak bebas. Tetapi sebagai bagian dari jagat raya
atau semesta, manusia juga terikat hukum-hukum semesta atau system yang bekerja
di jagat raya. Sang sumber hidup memang sekaligus menyatakan keberadaanNya
sebagai seperangkat hukum kehidupan yang mengikat semua, termasuk manusia.
Manusia, yang dianugrahi kecerdasan
nalar sekaligus kecerasan spiritual, sewajarnya mengerti tentang hukum-hukum
semesta. Pengertian ini menjadi fondasi untuk meraih kebahagiaan tertinggi dan
sampurnaning urip yang dikehendaki rasa terdalamnya. Manusia yang bisa
bertindak selaras dengan hukum-hukum semesta niscaya menemukan anugerah
berlimpah dan keberuntungan dalam hidupnya.
Sang Suwung sejatinya bukanlah sosok
terpisah dari manusia. Ketika Sang Suwung mengejawantah menjadi Pribadi Agung
atau sejenis Tuhan Personal yang terkesan terpisah dengan manusia, itu hanya untuk pembelajaran
agar manusia mengerti dan bisa lebih mudah menangkap keberadaan dan pesan-Nya.
Tetapi pada kasunyatan sejati, Ia tetaplah kekosongongan tanpa Batasan, tanpa
rupa, tanpa gatra.
Sebagai pengejawantahan dari Sang
Suwung, setiap manusia punya kebebasan penuh untuk memilih Tindakan seperti
yang dimaui. Batasannya adalah kapasitas dia sendiri dan hukum-hukum semesta,
diantaranya kasualitas atau hukum sebab akibat. Menusia memiliki murba
atau kuasa sejauh kapasitasnya, dan memiliki wasesa atau wewenang memilih Tindakan dimana setiap
Tindakan memiliki resiko tertentu (ngunduh wohing pakarti dalam Bahasa
jawanya). Setiap Tindakan pada dasarnya terjadi karena ada kuasa dari sang
suwung. Itulah kehendakNya dalam konteks free will dan ikatan hukum sebab
akibat.
Manusia tidak bisa melakukan sesuatu
yang bukan merupakan kehendak-Nya dan tanpa diberi daya atau kuasa dari Sang
Suwung. Tetapi manusia juga tidak bisa melepaskan diri atau menghindar dari
kausalitas. Itu juga kehendak-Nya yabg pasti terjadi. Tindakan destruktif
manusia, dalam kerangka hukum sebab-akibat, akan mengakibatkan kondisi yang
merugikan dan membawa dukacita. Tanpa upaya untuk menata diri, memperbarui
hidup, yang secara teknis dilakukan dengan menjernihkan residu energi destruktif
yang mengisi ruang kosong pada diri manusia, maka dukacita pasti dialami.
Itulah kepastian, itulah kehendak Sang Suwung yang tak bisa disangkal dan
dihindari. Demikian system kerja semesta mengikat seluruh manuisa.
Tuhan atau Sang Suwung sejatinya
adalah keberadaan yang tak dibatasi apa pun. Memenuhi dan meliputi jagat raya,
termasuk diri manusia. Sang Suwung meliputi seluruh ruang pada diri manusia,
menghidupi seluruh sel dalam tubuh, membuat jantung berdetak dan darah
mengalir, menjadikan manusia bisa hidup dan menjalani kehidupan. Dengan
kesadaran murni yang muncul saat keakuan manusia luruh, keberadaan Sang Suwung
dalam kesejatian-Nya bisa dikenali. Namun ada proses atau tahapan untuk sampai
pada kondisi ini. Sebelumnya, seorang pejalan terlebih dulu berjumpa dengan
emanasi Sang Suwung dalam diri manusia, yaitu satu realitas dengan banyak
julukan; Diri Sejati, Guru Sejati, Sukma Sejati, Atman, Roh Kudus.
0 Komentar