Kepemimpin Female dalam Perspektif Gender

Oleh :
Sita Harianti
(Sekretaris Bidang IMMawati Pk IMM Averroes FT UMS 2020/2021)


Peran perempuan yang berkembang di masyarakat baik dari aspek refroduksi, ekonomi, sosial, politik dan kepemimpinan Islam bahwa selama ini perempuan ditempatkan hanya sebagai anggota dalam hal kegiatan kemasyarakatan atau keorganisasian. Hal ini dilihat dari perempuan yang aktif diorganisasi kemasyarakatan serta tidak memiliki ciri-ciri pemberani seperti halnya dengan laki-laki. Alasan inilah sehingga program kerja yang diusulkan perempuan tidak begitu banyak untuk diterima dan implementasikan ke dunia politik yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam perannya di masyarakat tidak lain faktor pendidikan sangat besar dan sangat menentukan keaktifan kaum perempuan dalam keterlibatannya sebagai pengurus dalam kegiatan organisasi dan kemasyarakatan, karena semua tugas-tugas yang diembankan kepada perempuan dapat dilaksanakan berkat adanya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Ini berarti bahwa ada relevansi antara tugas dengan pendidikan.

        Kendala pun juga banyak dialami oleh perempuan dalam keterkaitan nya mengikuti kegiatan organisasi kemasyarakatan yaitu melalui beberapa persoalan antara lain pendidikan, pekerjaan , keadilan dan kesetaraan gender, peran domestik, budaya patriaki , agama hingga hubungan kekeluargaan. Semua itu adalah yang tercatat sebagai masalah masalah yang sering di hadapi oleh pihak perempuan di dalam kehidupan masyarkat. Sehingga terkesan bahwa selama ini banyak perempuan yang tidak mau melibatkam diri dengan persoalan partai. Kendala lain yang sering di dapati perempuan dalam urusan partai yaitu diskriminasi terhadap perempuandan bahkann konsep ketidakadilan pun tetap berpihak pada diri seorang perempuan.

      Dibeberapa pihak dan penelitian terdahulu mengungkapkan beberapa poinn mengenal ketidak adilan gender daalam peraturan tentang perkawinan seperti dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian M Abdul Hamid dan Nur Fadhilah (2006) mengungkapkan bahwa persoalan utama dalam kedua peraturan tersebut masih mengandung bias gender, yakni menempatkan posisi laki-laki yang lenih superior dibandingkan dengan perempuan dalam rumah tangga. Kritik terhadap peraturan ini terletak pada pasal 31 ayat (3) UUP No.1 tahun 1974 yang secara tegas menyebutkan bahwa “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga”, serta pasal 34 (2) “suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya” (M Abdul Hamid dan Nur Fadhilah. 2006).

    Jika di flashback kebelakang. Pada zaman peradapan Yunani, nyatanya perempuan telah di sepelekan, dan di perbudak sebagai alat memenuhi naluri seks laki laki, dan para perempuan sangat di puja untuk itu. Peradapan romawi menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawaah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan nya di pindah tangankan kepada suami. Kekuasaan ini mencakup semua termasuk berkuasa menjual,menguusir,menganiaya hingga membunuh.

        Dalam pandangan yahudi, martabat seorang perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap bahwa perempuann sebagai sumber laknat karenanya yang menyebabkan Adam di usir dari surge. Pandangan itupun berlanjut oleh masyarakat kristiani pada masa lalu yang tetap tidak juga lebih baik. Sepenjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan.

   Dalam kaintannya dengan persoalan laki-laki dan perempuan, prinsip dalam al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter. Buktinya terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang menyatakan hal demikian, misalnya dalam surah al-Hujurat/49 ayat 13: Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Juga dapat dilihat dalam surah an-Nahl/16 ayat 97: Siapa saja laki-laki dan perempuan yang beramal shaleh dan dia beriman, niscaya kami berikan kehidupan yang baik.

       Akan tetapi kitapun juga tidak dapat menutupi mata bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan bahwa benar benar bahwa kenyataan social dan budaya memperlihatkan hubungan laki laki dan perempuan yang timpang. Kaum perempuan masih di posisikan sebagai bagian dari laki laki (subordinasi). Dimarginkan bahkan didiskriminasikan. Cangkupan ini dapat dilihat sangat jelas nyata peran peran merekam, baik dalam sector domestic (rumah tangga maupun public).

        Banyak sekali anggapan dari sudut pandang masyarakat bahwa kekuasaan perempuan hanya sebatas pada leluasaan menggeluti bidang pada area dapur saja, tidak di wajibkan untuk berpendidikan tinggi. Pada pandangan inilah yang menurut saya keliru. Yang mana tidak di wajibkan berpendidikan tinggi dengan alasan jika sudah menikah tetap kembali ke dapur. Padahal perempuan berpedidikan tinggipun tidak akan merugiikan pihak laki laki, bukankah baik jika dunia memiliki perempuan dengan perempuan yang baik dalam pemikiran kritisnya?.

        Atau baik dalam karakter sifatnya yang baik dalam hal berprinsip. Tidak selamanya bahwa perempuan hanya dapat di tempatkan untuk progress memasak dan membersihkan rumah. Tapi perempuan juga berhak memiliki pendidikan yang baik jika misalkan ingin kuliah ataupun menjadi pemimpin, selama dapat adil dalam bertindak dan berfikir.

        Efektivitas kepemimpinan perempuan dalam karir dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang berorientasi pada pengembangan karir yang mampu menyeimbangkan aktivitasnya dengan tanggung jawab yang bisa dikategorikan tanggung jawab ganda. Karena selain tanggung jawab dalam organisasi, lembaga dan masyarakat luas juga mempunyai tanggung jawab sebagai perempuan dalam rumah tangga yang merupakan amanah harus diembannya.