SEKOLAH KADER #1
“Apakah Orang Berakal Harus Beragama?”
Akal adalah salah satu karunia tuhan yang menjadi ciri khas dan pembeda antara manusia dengan hewan yang lebih menggunakan instingnya secara alamiah tanpa pertimbangan akal dalam berkehidupan. Kata akal sendiri berasal dari bahasa arab yakni al-aql yang berarti ikatan atau tambatan. Secara umum kata áqal berada dalam konteks potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk mendorong terciptanya sebuah budi pekerti atau menghalangi seseorang melakukan keburukan (Quraish Shihab: 2018) sedangkan menurut Harun Nasution kata aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir serta menjadi salah satu sumber utama ajaran Islam. Karena islam memandang tinggi derajat sebuah akal sampai bisa dikatakan akal adalah salah satu dasar bagi seseorang untuk memperkuat imannya. Selain itu syariat yang ada dalam ajaran agama islam juga diperuntukan kepada orang yang berakal. Ada banyak syariat islam yang diberlakukan ketika seseorang sudah baligh, karena orang yang sudah baligh dianggap sudah matang akalnya dan akan mampu dalam menerjemahkan serta menghayati syariat islam.
Orang yang berakal juga dijelaskan Allah dalam surat Ali-Imran ayat 190-191, disana Allah menjelaskan bahwa orang yang berakal adalah orang yang senantiasa mengingatnya dalam keadaan apapaun dan senantiasa memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Ayat ini menggunakan kata ulil albab dalam penyebutan orang yang berakal, dan dari sini bisa diambil kesimpulan pula bahwa orang yang berakal adalah ornag yang mampu menerjemahkan ayat-ayat atau wahyu Allah. Makansudah seharusnya pula, orang yang menggunakan akal sebagai mana mestinya akan dekat dengan Allah karena yang ia terjemahkan adalah ayat-ayatnya.
x
x
Akal juga memiliki beberapa kekurangan, karena akal hanya dapat mengartikan suatu fenomena secara objektif dan rasional, padahal subjektifitas juga diperlukan dalam mengartikam suatu fenomena. Karenanya akal tetap harus berimbang dengan qalb atau hati. Immanuel Kant akal tidak pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek. Maka keseimbangan antara keduanya diperlukan agar nantinya ilmu yang diserap dari suatu peristiwa tidak hanya bersifat objektif ataupun hanya bersifat subjektif.