Kekerasan Seksual di Kampus

Bidang IMMawati PK Averroes

Kekerasan seksual adalah tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan. Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja baik perempuan maupun laki-laki. Kekerasan/pelecehan seksual merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi. Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja. Namun, beberapa tahun belakangan ini sorotan publik tampaknya tertuju pada kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi yang dalam istilah lebih populer disebut kekerasan seksual di kampus.

Merujuk pada survei yang dilakukan Kemendikbud pada tahun 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, tetapi 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir terhadap stigma negatif. Selain itu, data Komisi Nasional Perempuan menunjukkan terdapat  27% aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020.

Terciptanya kondisi aman dan nyaman di kampus, tidak hanya ditentukan oleh persoalan ketersediaan fasilitas fisik. Akan tetapi, diperlukan juga kondisi di mana Sivitas Akademikaa merasa terlindungi baik pada saat melakukan kegiatan belajar mengajar maupun ekstrakurikuler. Salah satu aspek kenyamanan  itu adalah jaminan rasa aman tidak mengalami kekerasan seksual. Lingkungan lembaga pendidikan menempatkan dosen, instruktur, tenaga kependidikan, senior, maupun semua individu yang menduduki jabatan struktural di dalam lembaga memiliki posisi tawar yang  lebih kuat daripada mahasiswa atau peserta didik. Namun, di beberapa kasus posisi yang kuat ini justru digunakan untuk memaksa mahasiswa/i mengikuti apa yang diinginkan oleh individu tersebut. Hal ini terbukti pada beberapa penelitian. Contoh, pada Universitas Negeri Surabaya pada tahun 2014, terdapat 40 persen dari 304 Mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual pada proses perkuliahan di Perguruan Tinggi. Kemudian sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan, bahkan menurut survei Kemendikbud Ristek (2019) bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindakan kekerasan seksual setelah jalanan dan transportasi umum.

            Maka dari itu, untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai kementerian yang menangani persoalan di pendidikan pada perguruan tinggi merespon kekhawatiran masyarakat terhadap kekerasan seksual di perguruan tinggi tersebut dengan membuat aturan. Aturan itu diterbitkan pada tahun 2021 dengan diberi nama Peraturan Mendikbud Ristek atau Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Tujuan utama dari Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 ini adalah supaya ada mekanisme untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Dalam aturan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini menjadikan pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus, sehingga menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara inklusif, kolaboratif  tanpa kekerasan antara mahasiswa.

Pada awal penerbitannya aturan tersebut kemudian menuai berbagai macam polemik dan penolakan. Salah satu hal krusial yang menjadi bahasan untuk dilakukan penolakan adalah munculnya frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ tersebut dinilai oleh beberapa pihak sebagai frasa yang mengarah pada ideologi liberal yang bertentangan dengan pancasila. Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ juga dianggap sebagai upaya pemerintah melegalisasi perzinaan. Alasan itu muncul atas asumsi apabila kedua pihak setuju, yakni terduga pelaku dan korban, artinya perbuatan asusila itu akan dianggap benar meskipun secara moral dan nilai-nilai keagamaan jelas-jelas dianggap sebagai sebuah kesalahan.

Hal ini membuktikan bahwa aturan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi persoalan yang marak terjadi di perguruan tinggi itu akan selalu menimbulkan pro dan kontra. Maka dari itu, seseorang terutama mahasiswa/i juga tidak bisa mengandalkan orang lain untuk melindungi dirinya dari pelecehan atau kekerasan seksual. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa/i yang merupakan kaum terpelajar harus tahu bagaimana cara melindungi diri sendiri dan bagaimana mengatasi hal tersebut.  Berikut ini merupakan tips bagaimana cara mencegah dan menangani kekerasan seksual: 

1. Menanggapi Catcalling

Catcalling adalah perlakuan berupa siulan, panggilan, seruan, atau apa pun yang sifatnya verbal dengan tendensi seksual, kepada perempuan (atau gender lain, tapi pada umumnya perempuan) yang sedang lewat. Hal tersebut sulit sekali dihindari, apalagi jika perempuan tersebut memiliki paras yang cantik atau berpenampilan menarik. Apabila kamu mengalami hal ini, bersikap tegas dan tujukan ekspresi ketidaksukaan kamu terhadap hal tersebut.

2. Semprotan lada atau minyak angin

Benda tersebut bisa kamu jadikan senjata kalau kamu mengalami tindak pelecehan seksual dengan cara mengisinya dengan air yang dicampur lada atau minyak angin panas. Bagi kamu yang sering pulang malam, sangat dianjurkan.

3. Bersikap tegas dan berani memberikan teguran

Biasanya pelecehan seksual berupa sentuhan pada beberapa bagian tubuh kamu dan sebagai perempuan rawan sekali terjadi ketika terdapat banyak orang yang berdesak-desakan seperti di bis atau kereta misalnya. Jika hal ini terjadi, segeralah berganti posisi dan tegur secara tegas dan lantang agar ia merasa dipermalukan dan orang disekitarmu pun akan ikut memperhatikannya.

4. Bekali diri dengan pengetahuan bela diri

Kemampuan bela diri sederhana juga harus diketahui oleh para perempuan. Bagaimanapun juga, sebagai perempuan harus dapat membela diri apabila pelecehan seksual yang diterimanya sudah berupa paksaan fisik atau mengarah ke pemerkosaan bahkan penculikan. Apabila hal seperti ini terjadi, setidaknya kita bisa melakukan perlawanan seperti menendang alat kemaluannya, mendorong, memukul, dan lain-lain.

5. Jangan diam, laporkan!

Jangan takut untuk melaporkan kepada pihak berwajib apabila kamu mengalami pelecehan seksual tersebut, baik yang berupa sentuhan atau rabaan, hingga ke tingkat pemaksaan sekalipun. Kalau kamu merasa khawatir melaporkannya langsung kepada pihak berwajib, kamu bisa mengatakannya terlebih dahulu kepada orang terdekat kamu, orang tua misalnya.

Penting sekali bagi seseorang terutama mahasiswa/i untuk membekali diri dengan mengetahui bagaimana cara mencegah dan menangani kekerasan seksual ketika sudah terlanjur terjadi. Korban haru berani melaporkan kekerasan seksual kepada pihak yang berwajib agar pelaku mendapatkan keadilan. Tidak hanya itu, korban pun juga harus mendapatkan bimbingan baik dari psikolog/psikiater maupun orang-orang terdekat untuk mengatasi trauma dan ketakutan yang dialami dan dirasakan. Tak bisa dipungkiri, pelecehan atau kekerasan seksual akan menimbulkan dampak psikologi atau pun dampak fisik bagi para korban.

Ada beberapa macam jenis pelecehan seksual, seperti pelecehan seksual non-verbal seperti sentuhan pada paha dan anggota tubuh lain yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh orang lain. Kemudian, ada juga pelecehan seksual verbal di mana bisa berbentuk pelaku menyampaikan pesan berbau seksual dan berkaitan hubungan seksual korban. Bahkan, Ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:

1. Perkosaan;

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau

Percobaan Perkosaan;

3. Pelecehan Seksual;

4. Eksploitasi Seksual;

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;

6. Prostitusi Paksa;

7. Perbudakan Seksual;

8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;

9. Pemaksaan Kehamilan;

10. Pemaksaan Aborsi;

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;

12. Penyiksaan Seksual;

13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Pelecehan seksual baik verbal maupun nonverbal akan memberikan dampak psikologis bagi para korban.  Dampak perilaku atau psikomotor pada korban pelecehan seksual baik berupa gejala fisik maupun perubahan pada perilaku. Gejala fisik contohnya adalah jantung berdebar, sesak nafas, sakit, dan pusing. Adapun perubahan perilaku seperti menghindari pelaku, memasang wajah serius ketika bertemu pelaku, mengurangi intensitas bermain sosial media, daan merubah cara berpakaian. Para korban pelecehan seksua akan terus mengalami flashback atau mengingat kembali atas kejadian yang dialami.

Kemudian, ada juga dampak afeksi pada korban pelecehan seksual seperti perasaan tidak nyaman, marah, kesal, menyalahkan diri sendiri, merasa ada yang diambil, dan rendah diri. Korban akan terus cenderung menyalahkan dirinya atas kejadian pelecehan seksual yang terjadi.

Masalah pelecehan seksual seakan tak ada habisnya, ditambah dengan segal pro kontra di dalamnya. Pelecehan seksual memang kerap terjadi pada perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga bisa mengalami pelecehan seksual. Diharapkan dengan adanya peraturan Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 dapat menjadi tempat aman untuk para korban.

 

 

Referensi:

Amal, B. 2021. Tinjauan Hukum Terhadap Frasa ‘Tanpa Persetujuan Korban’ dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. 3(2) : 86-95.

Oslami, A.F. 2021. ‘Analisis Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual’. Al-Ahkam: Jurnal Syari’ah dan Peradilan Islam. 1(2) : 101-109.

Atmajaya. "5 cara mengatasi pelecehan seksual". Diakses dari https://m.atmajaya.ac.id

Sumera, M. 2013. 2018. ‘Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan’. Lex et Societatis. 1(2): 39-49.

 KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Trihastuti, A & Nuqul, F.L.2020. ‘Menelaah Pengambilan Keputusan Korban Pelecehan Seksual dalam Melaporkan Kasus Pelecehan Seksual’.Personifikasi.11(1) : 1-15.