Surat-Surat Dari Surga
Karya by Kabid RPK
Satu pekan telah
berlalu semenjak kematian
Alif—suamiku.
Tapi
setiap pagi, tanganku masih saja otomatis menakar beras, menyalakan kompor, dan
menyiapkan lauk kesukaannya. Dapur terasa asing tanpa suaranya yang biasa bersenandung kecil sambil menunggu sarapan. Kini yang
terdengar hanya desis minyak dan denting sendok, seolah aku sedang memasak
untuk ruang kosong.
Kotak bekal itu masih ada, menunggu di ujung meja makan. Kotak yang
dulu selalu ia bawa dengan senyum malas-malasan, lalu kukecupi sebelum ia
berangkat kerja. Aku tahu, tak ada lagi yang akan mengulurkan tangan untuk
mengambilnya. Tapi entah kenapa, aku tak sanggup berhenti mengisinya.
Setelah nasi dan lauk masuk
ke kotak, aku menyelipkan selembar
kertas kecil. Tulisannya
sederhana, sama seperti dulu: “Jangan
lupa makan, Mas. Aku sayang kamu.”
Aku tahu ia tak akan pernah
membacanya lagi. Tapi menulis
itu memberiku ilusi,
seakan- akan aku masih bisa merawatnya.
Aku meletakkan kotak itu di
atas meja, menatapnya lama-lama.
Sunyi menusuk. Rasanya seperti aku
sedang menunggu seseorang yang aku tahu tak
akan kembali. Tapi setiap kali hendak berhenti, bayangan wajahnya
muncul begitu saja. Seolah dari ruang ini, dari dinding dapur yang dingin, ada
jejak kehadirannya yang enggan pergi.
Kadang
aku merasa konyol. Kadang pula aku merasa ini satu-satunya cara agar aku tidak
runtuh. Karena jika aku berhenti memasak untuknya, mungkin aku benar-benar akan
kehilangan seluruhnya—bahkan sekadar alasan untuk bangun di pagi hari.
Hari
itu aku pulang lebih malam dari biasanya. Pekerjaan di kantor menumpuk, dan
perjalanan terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Begitu kunci pintu
kuputar, aroma dapur yang dingin menyambutku—aroma rumah yang tak lagi lengkap.
Aku
melangkah ke meja makan dengan langkah yang sama seperti hari-hari sebelumnya,
sudah siap melihat kotak bekal itu menunggu, masih utuh, masih penuh, seperti
ejekan kecil atas harapanku yang bodoh.
Tapi kali ini berbeda.
Kotaknya kosong. Benar-benar kosong.
Tanganku
gemetar saat meraihnya. Nasi dan lauk yang tadi pagi kutaruh hilang, seakan
benar-benar dimakan seseorang. Lebih mengejutkan lagi, ada secarik kertas di
dalamnya. Lipatannya rapi, tulisan di atasnya tidak asing sekaligus membuat
dadaku berdegup kencang.
“Terima kasih. Makanannya enak sekali.”
Aku terdiam. Mataku
panas. Tidak salah lagi, ini adalah tulisan
tangan Alif.
Tangan
ini gemetar saat menelusuri tulisan sederhana itu. Sejenak aku yakin—gila atau
tidak—bahwa Alif benar-benar kembali.
Bahwa ia membaca catatanku dan membalasnya.
Air mataku
jatuh, menodai kertas kecil itu. Malam itu aku duduk lama di dapur, memeluk kotak bekal kosong seakan-akan
memeluk kehadiran yang sudah lama pergi.
Di kamar sebelah, kudengar suara kecil berdehem lalu mereda—mungkin
anakku yang sudah tidur sejak sore. Sudah lama aku tak benar-benar
memperhatikannya. Kami sama-sama kehilangan
Alif, tapi aku terlalu sibuk menenangkan diri dengan caraku sendiri.
Aku
berdiri dari kursi, melangkah perlahan menuju kamar anakku. Kubuka sedikit
pintunya, berusaha agar tak menimbulkan suara apa pun. Dari celah sempit itu,
kulihat ia masih duduk di meja belajarnya. Badannya membungkuk, tangannya
bergerak di atas kertas, seperti sedang menuliskan sesuatu.
Ada
dorongan untuk masuk, menanyakan apa yang ia kerjakan malam-malam begini. Tapi
aku hanya menghela napas pelan, lalu menutup pintu kembali tanpa suara. Mungkin
ia sedang mengerjakan PR, pikirku, atau sekadar menggambar seperti biasanya.
Aku terlalu lelah untuk mencari tahu.
Aku
kembali ke kamar tidurku, membaringkan tubuh di kasur yang dulu juga ditiduri
Alif—kasur yang kini hanya jadi saksi bisu: tempat kami berbagi cerita,
bertengkar, juga bercanda. Kini yang tersisa hanya aku, memeluk sunyi, seakan
masih menunggu separuh jiwaku kembali.
***
Keesokan
paginya, aku bangun dengan perasaan campur aduk. Kertas kecil yang kutemukan
semalam masih kusimpan di meja rias, terlipat rapi seolah-olah bisa meyakinkan
diriku bahwa semua itu nyata. Tapi semakin kupandangi, semakin aku ragu:
mungkinkah itu hanya khayalan? Atau sekadar keisenganku sendiri yang tak
kuingat?
Namun tanganku kembali bergerak dengan cara yang sama.
Menanak nasi, menggoreng telur dadar kesukaan
Alif, memasukkan semuanya ke kotak
bekal. Jari-jariku menuliskan catatan baru, sedikit gemetar: “Hari ini aku merindukanmu lebih dari
biasanya. Jangan lupa makan, Mas.”
Aku letakkan kotak itu di meja, menatapnya lama sebelum berangkat
kerja. Hatiku tahu aku sedang bermain dengan harapan kosong, tapi entah mengapa
aku tetap melakukannya.
Malam harinya, setibanya di rumah, aku langsung
menuju meja makan.
Kotaknya kosong lagi. Dadaku berdegup kencang, tanganku bergetar ketika
menemukan secarik kertas lain di dalamnya.
Tulisan itu masih sama: kaku, tapi kini lebih panjang.
“Aku juga merindukanmu.
Jangan terlalu sedih, aku selalu
di dekatmu.”
Aku
terperangah. Mataku berair. Rasanya begitu nyata, begitu hangat, seakan-akan
Alif benar-benar menemaniku dari balik dunia yang tak bisa kuraih.
Aku
duduk di kursi, menempelkan kertas itu ke dada. Untuk sesaat, kesepian yang
menjeratku terasa renggang. Untuk sesaat, aku membiarkan diriku percaya.
Hari-hari
setelah itu berjalan seperti mimpi yang tak pernah ingin kuakhiri. Pagi yang
tadinya terasa dingin dan hampa, kini kembali punya arti. Tanganku kembali
terbiasa menyiapkan nasi, lauk sederhana, lalu menuliskan pesan-pesan kecil
seperti dulu. Bedanya, kini aku tidak hanya mengirim, tapi juga menerima.
Balasan-balasan
itu selalu kutemukan saat pulang malam. Kotak bekal kosong, dan di dalamnya
selembar kertas terlipat rapi. Awalnya
hanya kalimat-kalimat singkat:
“Makanannya lebih enak dari sebelumnya, hihihi,
terima kasih.” “Aku juga
sayang kamu, jangan khawatir.”
Tapi hari-hari berikutnya, tulisan itu semakin
panjang. Dua baris
berubah jadi empat, empat baris menjelma paragraf.
“Aku tahu kamu lelah. Jangan
memaksakan diri, ya. Aku selalu di dekatmu, meski kamu tidak bisa melihatku.
Tersenyumlah sekali saja hari ini, agar aku bisa tenang di sana.”
Aku membacanya berulang kali sampai
hafal. Setiap kata terasa
seperti suara Alif sendiri, berbisik dari tempat yang tak
bisa kugapai.
Kadang tulisannya
seolah mengulang kenangan
kecil kami.
“Ingatkah
kamu, pertama kali aku mencicipi masakanmu? Rasanya asin sekali, tapi aku tetap
menghabiskannya. Karena aku tahu kamu memasaknya dengan hati.”
Air mataku pecah membaca itu. Kenangan-kenangan kecil yang kupikir
hanya milikku ternyata juga hadir dalam balasan itu, seakan ia memang
benar-benar mengingatnya bersamaku.
Malam demi malam, aku semakin menantikan surat-surat itu. Bahkan saat
di kantor, aku sering melamun, membayangkan kata-kata apa yang akan menungguku
nanti di dalam kotak bekal. Rasanya seperti aku punya alasan baru untuk pulang.
Aku
jadi terbiasa berbicara pada kotak bekal kosong setiap pagi. “Mas, hari ini aku masak sayur bening kesukaanmu. Jangan lupa
makan ya,” ucapku lirih, seperti orang gila. Tapi balasan-balasan itu selalu
hadir, dan aku tidak peduli lagi kalau semua ini dianggap tidak masuk akal.
Yang penting, aku tidak merasa sendirian.
Seiring
waktu, kesepianku perlahan mereda. Aku bahkan mulai bisa tersenyum, walau
senyum itu rapuh. Tetangga bilang
aku tampak lebih
segar, teman kantor
bilang aku terlihat lebih kuat. Mereka tak tahu, aku
punya rahasia kecil yang menahan hidupku agar tidak runtuh.
Terkadang,
sebelum tidur, aku membaca ulang semua surat yang kutemukan. Kertas- kertas itu
kini sudah menumpuk di laci meja rias. Ada
lusinan, dengan tulisan yang sama: kaku, tapi penuh kehangatan. Aku menyusunnya
rapi, seakan itu adalah koleksi harta paling berharga dalam hidupku.
Dan setiap kali kusentuh
lembaran-lembaran itu, aku merasa Alif benar-benar masih ada.
Menjaga. Menghibur. Menemani.
Namun
di sela-sela kebahagiaan semu itu, selalu ada satu pertanyaan yang mengganggu: Bagaimana mungkin ini terjadi? Setiap
kali pikiran itu muncul, aku buru-buru mengusirnya. Karena aku takut, jika
terlalu banyak bertanya, semua ini akan lenyap begitu saja. Dan aku tidak siap
kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Aku
mulai tenggelam dalam keseharian yang baru ini. Setiap malam aku menyiapkan
topik apa yang akan kutuliskan untuknya di esok hari. Malam ini kepalaku
terlintas topik paling gila yang bisa aku pikirkan.
“Sayang, bagaimana kegiatanmu di surga sana? Apakah
menyenangkan?”
Aku
melipat sepotong kertas kecil itu rapi dan perlahan. Aku selalu memberikannya
lipatan terbaik selama ini, agar saat ia membuka nanti tidak sulit
merentangkannya. Ada sesuatu yang
khidmat dalam melipat kertas kecil itu, seakan aku sedang merapikan doa.
Keesokan
paginya, aku kembali memasak. Kali ini bukan lauk seadanya, melainkan sesuatu yang penuh kenangan:
rice bowl cumi—makanan favorit
Alif ketika kami masih pacaran. Aku masih ingat jelas wajahnya
saat pertama kali menyuap cumi buatanku. Ia berpura-pura batuk karena kepedasan, padahal hanya ingin membuatku panik. Aku menepis lengannya waktu itu sambil
cemberut, sementara ia tertawa puas. Kenangan itu menguar bersama aroma cumi yang kini mengepul dari wajan, membuat
dadaku sesak sekaligus hangat.
Kotak
bekal itu kutaruh di atas meja dengan penuh kehati-hatian, seperti meletakkan
persembahan suci. Di dalamnya sudah menunggu kertas kecil bertuliskan
pertanyaan yang mungkin terdengar konyol, tapi justru paling ingin kutahu
jawabannya.
Sepanjang
hari di kantor, pikiranku melayang-layang. Aku hampir tidak fokus pada
pekerjaan, jari-jariku gelisah ingin segera memutar kunci pintu rumah dan
melihat apa yang menunggu di meja makan. Aku tahu ini gila. Aku tahu ini
mungkin hanya permainan pikiranku sendiri. Tapi bagian
dari diriku memilih
percaya—karena percaya terasa
jauh lebih menenangkan daripada meragukan.
Malam
itu, begitu pulang, langkahku langsung menuju meja makan. Kotak itu sudah
menunggu. Kosong, seperti biasa. Dan di dalamnya … ada selembar kertas terlipat
rapi.
Tanganku bergetar saat membuka lipatan itu. Mataku langsung
berkaca-kaca membaca tulisan di dalamnya:
“Di sini
damai sekali. Tidak ada rasa sakit, tidak ada lelah. Aku bahagia, apalagi
melihatmu masih ingat aku. Apakah kamu ingat, sungai yang pernah guru
kita ceritakan sewaktu SMA? Aku melihatnya mengalir di belakang rumah besarku.
Sebenarnya aku bisa meminta makanan apa saja di sini, tapi aku lebih memilih masakanmu, karena mengandung cinta,
hehehe. Pokoknya jangan khawatirkan aku, Sayang. Yang harus kamu jaga hanyalah
dirimu sendiri … dan anak kita.”
Tubuhku
terhuyung. Kalimat terakhir itu membuat air mataku tumpah deras. Aku
menempelkan kertas itu ke dada, terisak tanpa bisa berhenti. Rasanya begitu
nyata, begitu dekat.
Untuk pertama
kalinya, aku merasa pertanyaanku benar-benar dijawab.
Malam ini aku kembali
membuat surat, kini bukan pertanyaan melainkan curhatan.
Tanganku bergetar menulis
kalimat-kalimat yang sudah lama kupendam.
“Mas, hari
ini aku dimarahi atasan. Katanya aku tidak fokus bekerja, pekerjaanku banyak
salah. Padahal aku sudah berusaha keras, tapi kepalaku selalu penuh dengan
bayanganmu. Rasanya aku ingin menyerah, tapi kalau aku berhenti, bagaimana aku
bisa melanjutkan hidup kita?”
Aku berhenti
sebentar, mengusap mata yang sudah basah,
lalu menambahkan lagi:
“Kadang aku iri
pada orang-orang yang bisa tertawa di kantor. Aku pun
bisa tersenyum, tapi di
dalam, hatiku hampa. Aku ingin sekali kamu ada di sini, memelukku dan bilang
semua akan baik-baik saja.”
Kertas
itu kulipat rapi seperti biasa, kucelipkan ke dalam kotak bekal, bersama nasi
dan lauk sederhana. Esok paginya, aku membawanya ke meja makan dengan perasaan
seperti menaruh seluruh beban hidupku di dalam kotak kecil itu.
Sepanjang
hari di kantor, pikiranku berkecamuk. Aku tidak lagi sekadar menunggu balasan,
aku menunggu jawaban. Aku ingin tahu apakah “Alif” akan
menanggapi keluh kesahku seperti dulu saat ia benar-benar ada.
Malam
harinya, begitu sampai rumah, jantungku berdegup kencang saat membuka kotak
itu. Dan di sana, sekali lagi, ada selembar kertas terlipat.
Tulisan di dalamnya
panjang, nyaris memenuhi
satu halaman.
“Sayang,
jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Aku tahu kamu kuat, meski kadang kamu merasa rapuh. Ingatkah
kamu, dulu saat aku kehilangan pekerjaan, kamu yang memelukku
dan berkata: ‘Selama kita bersama, kita bisa apa saja’? Sekarang aku ingin kamu mengingat itu juga. Jangan
biarkan kata-kata orang lain meruntuhkanmu. Aku masih di sini, dan aku bangga padamu.”
Aku
tersenyum kecil membaca respon Alif.
Rasanya seperti Alif yang baru PDKT
waktu itu. berusaha untuk menenangkanku
Keseharian itu terus berlanjut. Kami sudah seperti anak SMA yang baru jatuh cinta, lagi. Aku buru-buru
kembali ke kamar, meletakkan potongan surat tersebut ke dalam lemari. Sudah
terdapat 8 surat sekarang, dan kuharap akan terus ada surat-surat lainnya.
Surat ke-9
Aku: “Sayang,
aku mau nanya. Apakah di hari libur kamu memang tidak bisa membalas suratku?
Kemarin kamu tidak membalasnya.”
Alif: “Hahaha, iya, di hari libur aku sedang bersenang-senang dengan temanku
di sini.”
Surat ke-10
Aku: “Dasar kamu
pasti lebih milih nongkrong dengan teman-temanmu, kan, ketimbang membaca
suratku. Kalau begitu, bagaimana jika aku nyusul kamu secepatnya? Hahaha, pasti
bakalan seru banget ya main kejar-kejaran di halaman rumahmu yang BESAR. Apakah
di sana ada air mancur?”
Alif: “Kasihan
Rifal kalau kamu nyusul secepatnya, dia kan masih
SMP. Tapi bicara
soal kejar-kejaran, tentu saja akan menyenangkan kalau kita bermain
di sini. Perihal
air mancur, aku bahkan bisa meminta untuk meletakkan
air terjun yang indah persis di depan rumah kalau aku mau.”
Surat ke-11
Aku: “Hahaha,
benar juga. Akhir-akhir ini aku kurang memperhatikan Rifal, Mas. Tapi kurasa
dia sudah cukup dewasa, aku terlalu sibuk dengan kerjaanku di kantor. BTW
apakah kamu masih ingat saat pacaran kita pergi ke taman safari itu dan kamu
panik karena ada mantanmu. Huh, dasar buaya kamu, tuh.”
Alif: “Hei,
benarkah Rifal sudah sedewasa itu? menurutku tidak. Dan tentang taman safari
itu … maaf, ya. Kurasa aku hanya bisa mengingat kejadian-kejadian setelah kita menikah.”
Surat ke-12
Aku: “Benarkah? Apa di surga juga ada amnesia?”
Alif: “Hahaha, mungkin. Aku korban
pertamanya” Surat ke-13
Aku: “Sayang,
tahu, gak, sih. Kali ini atasanku keterlaluan. Masa dia menyuruhku
menyelesaikan masalah administrasi beberapa tahun lalu, laporan keuangannya
berantakan sekali. Itu kan salah akuntan sebelumnya, kenapa harus aku yang
membereskan. Dan perusahaan kami kena ancaman penyitaan aset jika penghasilan
tersebut tidak terbukti.”
Alif: “Hei,
Sayang … jangan kesal terlalu lama, ya. Aku tahu kamu merasa tidak adil, tapi
aku juga tahu kamu lebih pintar daripada yang mereka kira. Kamu selalu bisa
menemukan jalan keluar, bahkan di saat aku sendiri dulu sering kebingungan.
Ingat,
waktu aku kehilangan kontrak besar dulu? Aku hampir menyerah, tapi kamu yang
duduk di sampingku sambil bilang, ‘tenang, Mas, kita cari cara bareng-bareng.’
Dan benar, semua bisa teratasi. Kamu itu cahaya di tengah kekacauan, Sayang.
Bahkan Rifal yang dulu masih SD bisa menyemangatiku. Tidakkah kamu mau mencoba
meminta dukungan darinya?
Dan kalau
sekarang kamu diminta membereskan masalah yang bukan salahmu, anggap saja itu
kesempatan untuk menunjukkan betapa hebatnya kamu. Aku percaya, kamu bisa
membuat semuanya beres dengan caramu sendiri.
Jangan lupa
istirahat, ya. Aku tidak ingin kamu sakit karena beban kerja. Pulanglah nanti
dengan senyum, karena senyummu itu, Sayang … lebih berharga daripada semua aset yang mereka takut kehilangan.”
Senyumku
lebar sekali melihat balasan yang panjang ini. Seakan ada kupu-kupu
berterbangan dalam perutku. Tidak kusangka surat-surat dari surga ini mampu
membuatku kembali merasakan cinta yang telah hilang. Tapi tetap saja itu hanya
kata-kata, tidak bisa menyelesaikan masalah nyata. Setidaknya mereka mampu
untuk membuatku tetap bertahan.
***
Aku
keliru. Kuat dan mampu bertahan saja tidak cukup. Laporan keuangan ini sudah
tidak tertolong. Atasanku marah, aset
perusahaan banyak yang disita, dan akhirnya aku dipecat.
Hari itu aku pulang lebih cepat, masih siang. Tapi di tengah masalah
pelik ini, langkah pulangku justru dipenuhi rasa berdebar. Aku tidak sabar
ingin melihat surat balasan dari Alif. Aku membayangkan bagaimana tulisannya
kali ini: mungkin ia akan menghiburku, atau menenangkanku seperti selalu.
Namun
ada satu keraguan yang mengganjal. Apakah surat-surat itu hanya datang saat
malam? Entahlah. Aku tidak pernah
mencobanya. Saat hari libur, aku selalu memilih tidur lebih lama, dan ketika
bangun kesiangan … memang tak ada surat sama sekali.
Begitu
sampai rumah, aku tergesa menuju meja makan. Kotak bekal itu sudah menunggu di
sana. Kosong. Makanannya habis, tapi tidak ada surat di dalamnya.
Dadaku
sesak. Tanganku mengaduk isi kotak itu berulang kali, seakan-akan ada yang
tertinggal di sudut lipatan, tapi hasilnya nihil. Aku menggigit
bibir, mencoba menenangkan diri.
Mungkin memang benar, surat itu hanya datang malam hari. Mungkin
aku harus bersabar sedikit lagi.
Aku terduduk lemas di kursi, membiarkan ruang makan yang sepi menelan
seluruh kegelisahanku. Hanya ada dengung samar kipas angin yang tiba-tiba
terdengar dari arah kamar sebelah.
Keningku berkerut. Bukankah tadi sebelum
berangkat aku sudah mematikan semua kipas? Dengan langkah ragu, aku mendekati kamar anakku. Pintu itu
sedikit terbuka, dan suara kipas angin berputar pelan dari dalam.
Aku menelan ludah, lalu mendorong pintu itu
perlahan. Untuk pertama kalinya sejak Alif
pergi, aku benar-benar masuk ke kamar anakku dengan hati yang terbuka.
Dan di sana—di
meja belajarnya—aku tertegun.
Kursi belajar
kosong. Pensil tergeletak di atas meja, bersama dua buah buku yang tertutup rapat, seolah baru saja
ditinggalkan. Aku mendekat perlahan, mataku menangkap sesuatu yang membuat
dadaku mencelos.
Buku
pertama—aku mengenalinya. Sampul lusuh berwarna biru tua, dengan label nama
yang masih tertulis jelas: Alif Alfathillah. Itu buku kerja suamiku, yang dulu
sering ia bawa ke kantor.
Di sampingnya, tergeletak buku tulis milik Rifal.
Tanganku
bergetar saat membuka buku suamiku. Tulisan Alif yang kukenal langsung
menyambutku di halaman-halaman pertama: huruf-huruf tegas, miring ke kanan,
dengan garis bawah rapi pada setiap judul catatan. Aroma kertas tua bercampur
samar bau tinta membuat mataku panas seketika.
Perlahan, aku menutupnya kembali
dan membuka buku Rifal di sebelahnya.
Halaman
demi halaman … penuh coretan. Goresan pensil yang kaku, miring ke sana-sini,
tapi aku bisa melihat upaya keras di baliknya. Setiap huruf ditulis
berulang-ulang, seakan Rifal sedang melatih tangannya agar serupa dengan
tulisan ayahnya. Kata-kata sederhana seperti “makan,” “Ibu,” atau “Sayang”
memenuhi hampir semua lembar, hingga kertasnya tipis dan berkerut.
Aku
membalik lagi ke halaman belakang—penuh. Tak ada ruang tersisa. Satu buku tulis
habis hanya untuk berlatih meniru jejak tangan ayahnya.
Lututku
melemas. Aku terduduk di kursi, menatap dua buku itu yang kini terbuka di
depanku: satu milik suamiku yang telah tiada, satu lagi milik anakku yang
mencoba menghidupkannya kembali lewat tulisan.
Belum selesai sampai di situ. Laci meja belajar Rifal terbuka sedikit,
rasa penasaran merambati
dadaku. Maka kubuka laci itu perlahan. Dan yang kudapatkan sungguh tak terduga.
Ada tiga buku tulis lainnya.
Aku mengeluarkannya satu per satu, lalu membuka
isinya.
Buku pertama—sama. Halaman demi halaman habis untuk menirukan tulisan Alif, huruf-
huruf kaku yang berangsur-angsur lebih rapi.
Buku kedua—juga sama. Rifal terus berlatih,
seolah tak pernah lelah, seolah hanya ada satu
tujuan dalam hidupnya: menyalin ayahnya.
Lalu buku terakhir. Sampulnya sedikit lebih tebal ketimbang yang lain. Napasku
tercekat saat kubuka.
Di halaman pertama,
mataku langsung basah.
Di sana terdapat sepotong kertas tertulis kalimat yang
kukenal: “Jangan lupa makan, Mas. Aku
sayang kamu.” itu … milikku. Surat pertama yang kualirkan ke dalam kotak
bekal setelah Alif tiada.
Dan
tepat di bawahnya—ada tulisan lain. Mirip sekali dengan tulisan tangan Alif, terlalu mirip sampai membuatku
gemetar. “Terima kasih. Masakanmu enak
sekali.” Balasan yang pernah kutemukan, balasan yang sempat membuatku yakin Alif benar-benar menjawabku.
Tanganku bergetar
hebat saat membuka
halaman berikutnya.
Suratku
yang kedua—masih ada di sana, menempel di kertas dengan lipatan khas tanganku.
Dan di bawahnya lagi, balasan panjang dengan tulisan yang sama, persis seperti
yang pernah kubaca dan simpan di dadaku dengan tangisan bahagia.
Halaman ketiga.
Keempat. Kelima.
Semua suratku ada di
sana. Dan setiap surat itu memiliki balasan.
Dadaku
seperti diremas. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan, membasahi halaman-
halaman yang kini gemetar di tanganku. Selama ini … Rifal-lah yang menuliskan
semuanya. Ia menirukan tulisan ayahnya dengan penuh kesabaran, agar aku tak
merasa sendiri.
Aku
menutup buku itu dengan terisak, lalu menekapkannya ke dada. Suaraku pecah
keluar, bergetar, “Ya Tuhan, Rifal ….”
Di tengah tangisku, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah depan
berderit. Suara kunci diputar perlahan.
Aku sontak mendongak, jantungku melompat. Aku buru-buru menyeka air
mata, lalu menutup laci dan berdiri. Langkah kakiku ragu, tapi kutelusuri
lorong menuju ruang makan.
Dan di sana, aku membeku.
Rifal, dengan tubuh kecilnya, tengah berdiri di meja makan. Tangannya meletakkan secarik kertas terlipat rapi ke
dalam kotak bekal kosong.
Ia menoleh—dan pandangan
kami bertemu.
Air mataku pecah
seketika. Langkahku gemetar
saat kudekati Rifal,
lalu aku langsung meraih tubuhnya.
Kupeluk ia erat-erat, seolah ingin menempelkan
seluruh patah hatiku pada dadanya yang kecil tapi hangat. Tangisku pecah di
bahunya. “Nak … oh, Rifal ….”
Rifal kaku beberapa
detik, lalu perlahan
membalas pelukanku. Bahunya
ikut bergetar, dan tiba-tiba aku mendengar isakan kecil
dari tenggorokannya.
Dalam pelukan itu, akhirnya ia angkat suara.
Suaranya pecah, terbata-bata, seperti tersendat di antara tangisnya.
“Se … semenjak
Ayah meninggal … Bu … Bunda jarang
senyum ….” suaranya terputus, ia menarik napas
tersengal. “Rifal nggak suka, Bun ….”
Aku meremas punggungnya, terisak makin keras.
“Terus … semenjak Ayah nggak ada … Rifal … Rifal jarang lagi sarapan bareng Bunda …,” ia sesenggukan, hidungnya tersumbat. “Berhari-hari Bunda masakin
bekal … tapi … tapi nggak pernah ada
yang makan. Sampai malam … Bunda buang. Begitu terus ….”
Tanganku menepuk-nepuk punggungnya, air mataku
jatuh deras.
“Jadi … dari
pada mubazir … Rifal makan, Bun. Rifal makan ….” Suaranya
pecah.
Ia
menarik napas panjang, lalu menangis lagi. “Ka … karena Rifal udah bisa niru
tulisan Ayah … Rifal coba … coba balas surat-surat Bunda. M-maaf ya, Bun …
sebenernya itu bukan dari Ayah.”
Aku menutup
mulut dengan telapak tangan,
suaraku pecah tak terkendali.
“M-maaf
juga, Bun ….” Rifal tersengguk. “Rifal … Rifal sering ngintip kamar Bunda
diam-diam … Rifal cuma seneng … seneng liat Bunda bisa senyum lagi … jadi Rifal
berusaha keras … keras banget buat niru tulisan
Ayah … supaya Bunda nggak … nggak sendirian … Rifal nggak
apa-apa nggak bisa sarapan bareng dan makan malam bareng sama Bunda … yang penting Bunda bisa tersenyum lagi.”
Tangisku pecah
tak tertahan. Aku jatuh terduduk
di lantai, masih
memeluk Rifal erat-erat,
membiarkan air mata kami bercampur. “Nak … oh, Nak… bukan kamu yang harus minta
maaf. Bunda … Bunda yang salah. Bunda terlalu sibuk menenggelamkan diri dalam
kehilangan, sampai lupa kalau kamu
juga kehilangan ayahmu. Bunda lupa kalau kamu juga butuh senyum itu ….”
Rifal tersedu,
wajahnya basah menempel di bahuku. “A-aku kangen Ayah, Bun … tapi … tapi aku lebih kangen lagi sama Bunda
yang dulu … yang selalu ketawa bareng aku….”
Dadaku seperti diremukkan. Aku menempelkan wajahku ke rambutnya,
menciumnya berkali-kali sambil terus terisak. “Bunda janji, Nak … mulai
sekarang Bunda nggak akan biarin kita kehilangan dua kali. Ayah udah nggak ada, tapi kita masih
punya satu sama lain. Kita masih bisa saling jadi alasan untuk tersenyum.”
Kami
berdua sama-sama terdiam, membeku di tempat, dengan air mata yang hampir pecah
di sudut mata masing-masing.
***
Hari-hari
setelah kejadian itu berjalan dengan cara yang berbeda. Tidak ada lagi surat,
tidak ada lagi kotak bekal yang penuh rahasia.
Aku sudah dipecat dari
pekerjaanku—dan entah kenapa, kali
ini aku tidak merasa hancur. Justru sebaliknya, aku merasa lega. Setiap pagi
aku bisa duduk bersama Rifal di meja makan. Kami sarapan berdua, bercanda
kecil, kadang saling
berebut lauk seperti dulu saat Alif masih ada.
Sore
menjelang malam, kami kembali duduk berhadapan, makan bersama. Tidak ada meja
kosong, tidak ada bekal yang harus menunggu. Aku belajar menatap Rifal
sepenuhnya, mendengarkan ceritanya tentang sekolah, tentang teman-temannya,
tentang hal-hal kecil yang dulu sering luput dari perhatianku.
Seminggu penuh berlalu dengan cara itu. Normal. Hangat. Tidak
ada keajaiban, tidak ada air mata
berlebihan—hanya aku dan Rifal, saling melengkapi kehilangan.
Namun, tepat seminggu setelah malam pengakuan itu, sesuatu
terjadi.
Pagi
hari, aku kembali ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana: telur dadar dan nasi
hangat. Aku sudah terbiasa tidak menyiapkan bekal lagi. Kotak bekal itu masih
ada di rak, tapi kini hanya sebagai benda mati—aku bahkan sudah jarang
meliriknya.
Tapi pagi itu … ada yang berbeda.
Saat aku menaruh piring di meja makan, mataku terhenti. Kotak
bekal itu sudah berada di sana, tertutup rapi. Jantungku berdetak tak
karuan. Tanganku gemetar saat meraihnya.
Kukendurkan kuncinya, lalu perlahan kuangkat
tutupnya. Dan di dalamnya—secarik kertas kecil terlipat rapi.
Mataku membesar. Tanganku
bergetar hebat. Itu mustahil. Aku sudah tidak pernah menaruh surat lagi sejak hari itu.
Tapi aku menggeleng cepat, mencoba menenangkan diri. “Paling Rifal,”
gumamku lirih. “Anak itu mungkin ingin menjahiliku. Atau ingin mengulang kebiasaannya dulu.”
Kertas
itu kutaruh kembali ke dalam kotak, lalu kubawa ke kamar. Aku tidak berani
membukanya. Bukan karena
takut, tapi karena
aku tidak ingin terlalu berharap.
Kotak itu kutaruh di atas meja rias, lalu
kutinggalkan begitu saja.
Hari
itu berjalan normal. Aku dan
Rifal sarapan bersama. Sore hari ia
pulang dari sekolah dengan wajah lelah tapi ceria, membawa
cerita tentang ulangan
matematika yang katanya
“nggak manusiawi.” Kami tertawa kecil saat aku pura-pura mengeluh
tentang sulitnya jadi ibu dari anak SMP yang selalu protes.
Namun,
di tengah-tengah obrolan ringan itu, aku tak bisa menahan diri. Dengan nada
santai aku bertanya, “Rifal … kamu ada bikin surat lagi, ya? Yang Bunda taruh di kotak bekal?”
Rifal langsung
mengernyit. “Surat? Surat
apa, Bun?”
Aku
tersenyum tipis, mencoba terlihat biasa saja. “Itu lho … yang kamu taruh di
kotak bekal tadi pagi. Jangan jahil ah, Bunda udah tahu kok.”
Rifal terdiam.
Pandangannya kosong beberapa detik,
lalu ia menggeleng cepat.
“Bunda…” suaranya melemah.
“…Rifal udah nggak bikin surat-surat lagi. Beneran.
Sumpah.”
Aku membeku di tempat.
Senyum di wajahku perlahan
lenyap. Jantungku berdegup
kencang, darahku terasa
dingin. Karena aku tahu Rifal tidak pernah berbohong saat ia mengucap
sumpah.
Tubuhku seketika panas-dingin. Tanpa pikir
panjang, aku bangkit dari kursi, berlari kecil ke kamar. Rifal bergegas
mengikuti dari belakang, wajahnya bingung.
Aku meraih kotak
bekal itu dari atas meja rias dengan tangan gemetar, lalu kembali ke kamar
Rifal dan menaruhnya di meja belajar Rifal. “Itu berarti ….”
Rifal menelan ludah, lalu mengangguk pelan.
Dengan jari bergetar, aku mengeluarkan secarik
kertas yang sejak pagi tak berani
kusentuh. Lipatannya rapi, seperti dulu—seperti cara Alif selalu melipat nota-nota kecilnya.
Aku dan Rifal saling
pandang sebentar, lalu aku membuka
lipatan itu perlahan. Tulisan di bagian atas halaman
langsung membuatku terhenti.
“Kepada
Fani Syeila Pramista, dan Muhammad
Rifal.”
Mataku membelalak. Rifal menutup mulutnya
dengan kedua tangan,
air matanya langsung pecah.
Itu bukan panggilan biasa. Itu nama lengkap
kami. Nama yang hanya Alif gunakan
saat- saat tertentu—saat ia sedang serius, atau saat ingin memebritahu hal
penting.
Tanganku bergetar hebat, hampir saja surat itu terlepas. Rifal
menggenggam pergelangan tanganku, seolah ikut menahan ketakutan dan harapan
yang berbaur jadi satu.
Aku menarik napas panjang, mencoba
menenangkan dada yang bergemuruh. Lalu perlahan, kata demi kata mulai kubaca
keras-keras.
“Kepada
Fani Syeila Pramista, dan Muhammad Rifal.”
Sayangku,
istriku yang kuat. Anak hebatku, Rifal. Sudah satu bulan lebih aku pergi, ya?
Aku tahu hari-hari kalian berat. Aku bisa merasakannya, karena meski ragaku
sudah tak di dunia, hatiku masih selalu bersama kalian.
Fani …
jangan merasa sendiri. Setiap tetes air matamu, aku tahu. Setiap kali kamu duduk di meja makan dengan pandangan
kosong, aku tahu. Dan aku ingin bilang: kamu tidak perlu terus-terusan kuat
hanya untuk menutupi rapuhmu. Menangislah kalau memang ingin menangis. Tapi
setelah itu … bangunlah, tersenyumlah, karena Rifal butuh itu. Ia butuh
Bundanya, seperti kamu juga butuh dirinya.
Rifal, anak lelaki kecilku
yang sekarang sudah tumbuh jadi pemuda. Aku bangga padamu. Kau lebih berani dari yang aku
kira. Diam-diam kau menjaga ibumu dengan cara yang luar biasa—meniru tulisan
tanganku, hanya agar bundamu bisa kembali tersenyum. Itu … bukan hal kecil,
Nak. Itu bukti hatimu sebesar samudra.
Aku juga
membaca surat-suratmu kok, Fani. Dan jawaban Rifal kurasa sudah mewakilkan,
hahaha. Kadang aku tersenyum melihat caranya menirukan huruf-hurufku.
Tulisannya memang kaku, tapi cintanya nyata.
Sayangku, Rifal … aku ingin kalian
berdua tahu, meskipun
aku sudah tak ada, rumah kita
tidak pernah kosong. Selama kalian masih saling berpegangan, aku selalu hadir
di antaranya.
Hidup tidak
lagi tentang meratapi yang hilang, tapi tentang menjaga yang masih ada. Saling
genggam erat, saling jaga, saling ingatkan. Karena aku … aku tenang sekali di
sini, bila tahu kalian berdua baik-baik saja di sana.
Fani,
jangan lupakan senyummu. Itu cahaya untukku, bahkan di surga. Rifal, jangan
lupakan tawamu. Itu doa yang paling indah yang bisa kau kirimkan pada Ayahmu.
Aku mencintai kalian berdua.
Selamanya. – Alif Alfathillah
Aku
terdiam lama setelah membaca surat itu. Suaraku tercekat, tanganku gemetar, mataku basah tak terbendung.
Di
sampingku, Rifal sudah tidak bisa menahan diri. Ia menangis sejadi-jadinya, isakannya pecah sampai bahunya
terguncang hebat. “Bun … Ayah beneran masih sayang kita ya,
Bun … Ayah beneran masih lihat
kita,” katanya sambil terisak, suaranya parau, patah-patah.
Aku
langsung menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Dan di sanalah, akhirnya aku ikut
pecah. Tangisku tumpah deras, tak terkendali, menubruk isakan Rifal.
Kami menangis bersama, memeluk erat seakan takut terpisah. Tangisan itu
panjang, dalam, seperti menumpahkan semua luka yang selama ini terpendam.
“Rifal … Nak … kita nggak pernah sendirian. Ayah masih di sini. Dan
mulai sekarang … Bunda janji, kita
hadapi semuanya sama-sama.”
Rifal semakin kencang menangis di bahuku, tangannya mengepal di
punggungku. “Aku sayang Bunda … aku sayang Ayah ….”
Aku mencium ubun-ubunnya, air mataku jatuh membasahi rambutnya. “Bunda
juga sayang kamu … sayang sekali ….”
Dan di tengah
tangisan yang pecah itu, aku
merasa sesuatu yang hilang perlahan kembali.
Rumah ini bukan lagi rumah yang sunyi. Rumah ini kembali hidup, meski dengan
cara yang berbeda.
Kami
berdua menangis … sampai tidak ada lagi yang tersisa. Tapi kali ini, tangisan
itu tidak hanya tentang kehilangan—melainkan juga tentang cinta yang masih
tersisa, dan akan selalu ada.