Nietsche percaya bahwa kebudayaan Yunani paling adiluhung ada pada zaman pra-Socrates. Pasca-Socrates, Yunani terlalu menghargai ide, rasionalitas yang melahirkan norma-norma—aturan main, kita tak akan menemukan pencarian tuhan ala Ibrahim, yang sarat akan kepolosan anak-anak, penggalian yang murni. Pasca-Socrates, filsafat menjadi terlalu metodologis.
Apa yang disebutkan abang Zen, ndak sepenuhnya benar, tapi benar nya hampir penuh. Tentu kita juga tahu, dan pula merasakan, bagaimana hal-hal yang sifatnya administratif bisa meruntuhkan nilai yang awalnya membentuk adanya hal-hal administratif itu sendiri. Sekolah misalnya. Sekolah jelas berangkat dari adanya budaya ilmu, dengan begitu kita tahu bahwa budaya ilmu adalah pondasi atau sebab adanya sekolah.
Kemudian sekolah bekembang, tersistematis dan menjadi sebuah otoritas dengan mengeluarkan selembar kertas bernama ijazah, dan tentu kita akan terkejut (kalau tidak juga ndak apa) bahwa orang yang kental dengan budaya ilmu ndak beres sekolahnya, dan ndak punya ijazah formal, sementara orang-orang yang punya berlembar-lembar ijazah dan lisensi malah sama sekali jauh dari budaya ilmu; minat bacanya rendah, keterampilan menulisnya payah, dan lain sebagainya. Atau kita akan menemukan kasus lain, mengirim surat ke suatu institusi untuk mengundang pihak tersebut dalam suatu forum pemberdayaan masyarakat misalnya, tapi surat yang dibuat si pengirim masih memuat logo lama institusi tersebut, sementara logo pihak tersebut sudah diganti, tentu bisa ditebak; surat ditolak dan forum boleh jadi gagal gelar.
Berkat Sekolahisme, ijazah lahir, menjadi semacam penghianat bagi budaya ilmu, mengutip sebuah adegan pada cerpen Ahmad Tohari, dimana seorang kepala daerah dituduh membeli ijazah palsu, dengan santai si kepala daerah brengsek ini ngomong;
“ijazahku boleh palsu, tapi uangku asli”
heuheu
Penulis :
Nanda Rijalul Fikri
(Ketua Bidang Tabligh PK IMM AVERROES FT UMS 2019/2020)