Pemikiran Edward Said tentang Peran Kaum Intelektual



Pemikiran Edward Said tentang Peran Kaum Intelektual[1] 
Oleh: Zamzam Muhammad
  

Problematika
Tulisan ini bertujuan untuk pertama membedah dan memahami pemikiran Edward Said tentang intelektual; kedua relevansinya dalam konteks Indonesia. Untuk menjawab rumasan tersebut satu persatu, maka paling tidak kita harus bertanya tentang 1) mengapa kita harus mendiskusikan tentang peran kaum intelektual? 2) Mengapa pemikiran Said yang harus kita bedah? 3) Apa saja diskursus intelektual yang berkembang di sekeliling pemikiran Said? 4) Bagaimana latar belakang kehidupan membentuk pemikiran Said? 5) Apa konsep-konsep kunci yang membedakan Edward Said dengan pemikir yang lain dalam membahas topik tetang kaum intelektual? Secara berturut-turut tulisan ini hendak mejawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.



Mari kita buka diskusi kali ini dengan bertanya: Mengapa kaum intelektual itu begitu penting kehadirannya sehingga kita perlu mendiskusikannya di sini?



Dalam wacana sosiologi modern, tema intelektual sekaligus istilah intelektual mengemuka ketika Julien Benda menulis essay berjudul la trahison des clercs (pengkhianatan kaum intelektual) di tahun 1927. Dalam essay itu Benda mengritik para intelektual yang menggadaikan nilai-nilai kebenaran universal dan justru beralih membela pemikiran kaum awam (kaum kebanyakan). Hampir di waktu yang bersamaan (1929-1935), Antonio Gramsci yang sedang dipenjara juga menulis essay tentang fungsi kaum intelektual. Bagi Gramsci, fungsi kaum intelektual yang ideal adalah mendorong terjadinya lompatan-lompatan sejarah, tidak hanya sebagai orang yang membela dan mengulang-ulangi tatanan yang sudah ada.  



Bagi mereka, intelektual menjadi penting karena dipandang sebagai sumber kebijaksanaan. Intelektual ialah orang dianggap mampu menyampaikan patokan moral kepada masyarakat. Intelektual dianggap memiliki pengetahuan yang mampu merubah nasib manusia. Intelektual adalah orang yang berbicara tentang kebenaran. Dalam garis pemikiran seperti itu, maju-mundurnya kehidupan sebuah masayarakat ditentukan dari seberapa jauh para intelektualnya mampu menguliti permasalahan sekaligus menyampaikan kebenaran. Dalam bahasa sekarang, intelektual ibarat dirigen yang memimpin orkestra. Tanpa mengikuti dirigen, pemain orkes akan bermain musik sendiri-sendiri. Paduan suaranya akan kacau tak beraturan. Tak dapat dinikmati. Oleh karenanya, para pemain orkes memberikan legitimasi kepada seseorang untuk memimpin orkestra secara keseluruhan. Legitimasi itu diberikan karena para pemain orkes merasa ada seseorang yang dianggap memiliki kemampuan yang benar dalam mengomposisi musik. Demikian juga dalam masyarakat. Masyarakat memberikan legitimasi pada sekelompok orang yang dianggap mengetahui dan mampu menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksaan untuk menghadapi persoalan kehidupan.



Kemudian pertanyaan muncul, kapan tepatnya kaum intelektual muncul sebagai kelompok tersendiri dan membedakan dirinya dengan yang kelompok lain dalam masyarakat? Menurut Chris Harman, seorang sejarawan Marxist, sebelum masyarakat menemukan cara bercocok tanam, kaum intelektual belum muncul sebagai kelompok tersendiri. Manusia yang unggul dalam hal pengetahuan sama sekali belum ada. Pengetahuan dimiliki secara merata pada manusia. Semua memiliki pengetahuan tentang berburu dan semua memiliki pengetahuan tentang meramu makanan. Namun hal ini berubah ketika manusia menemukan teknik bercocok tanam yang terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada era bercocok tanam, manusia mulai mengenal surplus –jumlah makanan melebihi kebutuhan manusia– sehingga manusia dituntut untuk mengembangkan teknik menyimpan makanan. Gudang penyimpanan makanan ini kemudian dinamakan granaries. Gudang makanan ini merupakan simbol penting dalam kehidupan manusia. Gudang makanan dianggap sebagai tempat bertuah yang menyimpan kunci kehidupan manusia. Jika gudang makanan tersebut rusak, maka seluruh kehidupan manusia pun akan terancam. Oleh karena itu, dibutuhkan kelompok masyarakat yang tugasnya menjaga gudang makanan tersebut. Penjaga ini juga ditugasi untuk menghitung makanan dalam arti memprediksi sudah cukupkah jumlah makanan di gudang bagi kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, persis di sinilah muncul sebuah kelompok masyarakat yang “dikhususkan” bekerja tidak dengan menggunakan tenaga fisik, melainkan menggunakan kewaspadaan dan kemampuan penalaran. Para penjaga ini menghitung keluar masuk makanan di gudang. Ia juga mulai bisa menandai stok gudang dengan mengasosiasikannya dengan astronomi. Para penjaga gudang makanan atau granaries mulai mengetahui tentang adanya musim panen, musim paceklik melalui pengamatan: bahwa ada masa-masa tertentu (sambil mengamati gerak astronomi) yang berpola saat gudang sedikit makanan atau gudang tersedia banyak makanan. dari mereka inilah kegiatan tulis-menulis mendapatkan momentumnya. Sebab, para penjaga ini mencatat stok gudang dengan cara menandai melalui simbol-simbol tertentu.[1]



Bertolak dari peristiwa itu, melalui garis sejarah, muncullah kaum intelektual sebagaimana kita pahami sekarang yaitu “sekelompok orang yang kita anggap memiliki pengetahuan-pengetahuan tertentu yang benar dan bisa diandalkan untuk menjamin kehidupan manusia bebas dari penderitaan”. Maka kata kunci bagi intelektual bisa dirumuskan di sini: kerja otak, pengetahuan yang benar dan membebaskan manusia dari penderitaan. Dalam bahasa Hatta, kerja intelektual mencakup dua dimensi: akal dan moral. Kerja akal adalah mencari pengetahuan dan kebenaran. Sementara itu kerja moral adalah menyampaikan kebenaraan itu kepada masyarakat dengan semangat membebaskan manusia dari penderitaan.[2] Maka jika ada orang yang mengaku intelektual, atau paling tidak memiliki fasilitas atau simbol-simbol intleektual yang melekat dalam diri intelektual, namun tidak melakukan kerja akal dan kerja moral, maka ia dapat disebut sedang melakukan pengkhianatan kaum intelektual. Terkait pengertian pengkhianatan intelektual, banyak sekali pemikir atau filsuf yang memberikan pengertian berbeda-beda. Namun pengertian pengkhianatan kaum intelektual di atas (intelektual yang tidak melakukan kerja akal dan moral) sudah cukup mewakili perbedaan tersebut di tataran yang paling umum.



Banyak sekali filsuf, pemikir, sosiolog, politisi yang mengemukakan pendapatnya tentang peran, fungsi atau tugas para kaum intelektual. Termasuk Edward Said. Said ialah orang palestina sekaligus amerika, barat sekaligus timur, ilmuwan sastra sekaligus politik dan sosiologi, modern sekaligus postmodern, dan  profesor sekaligus aktivis. Identitasnya yang ambivalen inilah keunikannya. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai intelektual tapal batas, yaitu seorang intelektual yang akan selalu menjadi orang luar. Intelektual yang dituntun oleh prinsip-prinsip moral, bukan dituntun oleh suara orang kebanyakan atau otoritas para politisi. Dan dalam bukunya, secara tak langsung, ia menempatkan dirinya sebagai intelektual yang ideal: intelektual yang selalu menjadi orang tapal batas dan amatir. Konsep tentang intelektual tapal batas dan amatirisme inilah yang menjadi ciri khas pemikiran Edward Said tentang kaum intelektual.



Pemikiran Edward Said dipengaruhi oleh para pemikir sebelumnya. Ya, tidak ada pemikir yang berdiri di atas kaki sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Newton: jika aku dapat memandang lebih jauh dan luas, itu karena aku berdiri di atas pundak raksasa-raksasa. Meminjam peribaratan tersebut, siapakah raksasa-raksasa yang pundaknya dipijak oleh Said untuk memandang persoalan manusia? Terkait ini, Said mengatakan sendiri dalam bukunya bahwa Julien Benda, Antonio Gramsci, dan Michel Foucault sangat berpengaruh pada pemikirannya. Inilah yang menjadikan Said menjadi pemikir yang bercorak modern sekaligus postmodern: percaya pada universal sekaligus percaya pada kebhinekaan yang lokal.[3] Bagian berikutnya akan mengupas pemikiran-pemikiran Benda, Gramsci dan Foucault yang mempengaruhi Said.



Pemikiran Julien Benda yang sangat berpengaruh pada Edward Said adalah tentang pentingnya kaum intelektual menemukan dan berpegang pada kebenaran atau moralitas absolut, bukan pada kebenaran atau moralitas yang bersifat relatif. Oleh karena itu, kebenaran yang dimiliki oleh para kaum intelektual hendaknya mampu mengatasi kebenaran-kebenaran orang pada umumnya (suara kebanyakan). Kebenaran bagi banyak orang adalah kebenaran bagi dirinya sendiri, bagi kelompoknya sendiri, bagi bangsanya sendiri, bagi agamanya sendiri, bagi ras nya sendiri. Tuntutan Julien Benda pada kaum intelektual adalah mampu menangkap kebenaran yang menerabas moral-moral yang relatif itu. Kebenaran yang dimiliki dan diperjuangakan oleh kaum intelektual haruslah kebenaran universal, yang berlaku di manapun dan kapanpun.



Hal ini bisa dipahami karena Benda hidup di masa perang, suatu masa saat seluruh masyarakat termasuk intelektualnya dituntut untuk mengabdi pada negara. Dengan kata lain, kaum intelektual ikut berperan dalam peperangan, ikut menebar kebencian, mendukung bahkan melibatkan diri dalam bertambahnya penderitaan yang dialami oleh umat manusia. Kebenaran yang dimiliki oleh para intelektual, menurut Benda, adalah kebenaran yang mendorong adanya perdamaian bukan justru sebaliknya. Kaum intelektual harus mengusahakan konsensus, bukannya konflik. Sekalipun dalam proses memperjuangkan konsensus atau perdamaian umat manusia, kaum intelektual harus berkonflik dengan masyarakat kebanyakan yang pada dasarnya lebih menyukai konflik. Julien Benda mengidolakan Yesus sebagai intelektual ideal. Yesus bagi Benda merupakan par exellence orang yang memperjuangkan cinta kasih umat manusia, namun justru mendapatkan cemoohan dan penyiksaan dari masyarakat kebanyakan. Intelektual bagi Benda adalah mampu menemukan kebenaran universal, berani memperjuangkan kebenaran tersebut, sekaligus mau menderita sebagai konsekuensi perjuangannya. Dalam bahasa Benda kaum intelektual adalah sosok yang berjuang sambil mengatakan: “kerajaanku bukan di dunia ini”.



Oleh karena itu, Benda menyarankan agar kaum cerdik-cendekia –yang memiliki kejernihan pikiran –seharusnya memisahkan diri dari semangat masyarakat umum yang kental dengan ‘gairah politik’.



Bagi Benda, tidak terwujudnya kehidupan tanpa kebencian disebabkan oleh adanya ‘gairah politik’ yang menginfeksi kesadaran kaum intelektual.  Dalam hal ini, gairah politik disangga oleh tiga komponen gairah, yaitu gairah nasionalitas, gairah ras, dan gairah kelas.  Benda menjelaskan bahwa gairah ras adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada perbedaan identitas ras.  Gairah nasionalisme adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada perbedaan batas-batas nasional atau bangsa.  Sedangkan gairah kelas adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada perbedaan kepemilikan modal dan alat produksi.[4]  Menurut Julien Benda, runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan linier dengan meningkat dan meluasnya gairah-gairah tersebut dalam kehidupan manusia.[5]



Dalam pemikiran Benda, munculnya mentalitas yang kental dengan gairah politik erat kaitannya dengan nafsu duniawi.  Oleh karenanya, masyarakat awam –istilah yang digunakan oleh Benda untuk menunjuk pada masyarakat kebanyakan– sulit untuk menghindar dari gairah politik.  Sebagai garda depan pencipta kebudayaan tinggi, kaum intelektual wajib untuk mengatasi gairah ini.  Pada kesimpulannya, Benda menyarankan agar kaum intelektual menjaga jarak dengan masyarakat, apalagi aktivitas-aktivitas politik, dengan harapan agar kaum intelektual terhindar dari infeksi gairah politik. 



Selain Benda, pemikiran Edward Said juga dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci tentang konsep intelektual tradisional dan intelektual organik. Menurut Said, intelektual masa kini jarang sekali keluar dari tatanan lama. Intelektual justru menjadi pengabdi penguasa dan wacana yang berkuasa (wacana yang hegemonik). Intelektual haruslah menegaskan keberpihakannya. Ia harus sadar bahwa dalam ruang sosial, ada pihak yang dominan dan yang terdominasi. Intelektual organik adalah figur intelektual yang memosisikan diri sebagai corong penyampai kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu mau-tidak-mau intelektual harus berada di pihak yang terdominasi, mengangkat dan melepaskan penderitaannya. Dengan begini, sejarah manusia adalah sejarah melawan penindasan. Dan intelektual ideal adalah kelompok atau orang yang menyingkirkan penindasan dari sejarah manusia. Itulah figur intelektual organik. Dan, bagi Said, kebanyakan malah memilih untuk menjadi intelektual tradisional.



Gramsci membagi kaum intelektual ke dalam dua kategori, yaitu kaum intelektual tradisional dan kaum intelektual organik.  Kaum intelektual tradisional adalah kaum intelektual yang pemikirannya hanya mengulang-ulangi tradisi pemikiran kaum intelektual yang lampau.  Kaum intelektual ini seolah-olah apolitis, padahal mereka adalah agen dari kelas penguasa yang bertugas untuk memertahankan ideologi penguasa dan memantapkan status quo.  Berbeda dengan kaum intelektual tradisional, kaum intelektual organik adalah kaum intelektual yang menantang status quo.  Kegiatan berpikir kaum intelektual organik didasarkan pada pembelaannya terhadap kepentingan the subordinated class –lawan dari kelas penguasa.[6]  Jelaslah bahwa kaum intelektual organik berpotensi untuk mendorong perubahan sosial, namun tidak demikian halnya dengan kaum intelektual tradisional.



Pemikiran Gramsci tentang kaum intelektual menunjukkan bahwa semua kaum intelektual –kaum intelektual tradisional dan intelektual organik– memiliki relasi yang erat dengan penguasa maupun masyarakat.  Hanya saja, Gramsci membedakan pola relasi masing-masing kategori kaum intelektual dalam hubungannya dengan penguasa maupun masyarakat.  Pada kategori kaum intelektual tradisional, Gramsci melihat bahwa pola relasi antara kaum intelektual tradisional dengan kelas penguasa berlangsung harmonis, berkolaborasi mempertahankan status quo.  Di masyarakat, peran kaum intelektual tradisional bertujuan untuk menyebarkan ideologi kelas penguasa.  Kaum intelektual tradisional menyembunyikan fakta tentang adanya eksploitasi yang dilakukan oleh kelas penguasa terhadap kelas yang dikuasai, dalam pengetahuan yang telah diproduksi dan didiseminasi.



Berlawanan dengan kaum intelektual tradisional, pola relasi antara kaum intelektual organik dengan kelas penguasa adalah saling bertentangan.  Di masyarakat, kaum intelektual organik berperan dalam penciptaan kesadaran kritis masyarakat dan mengusahakan counter hegemony terhadap ideologi kelas penguasa.  Kesimpulannya, kaum intelektual organik merupakan kaum intelektual yang berpotensi untuk mendorong adanya progresivitas sejarah, (dalam konteks hidup gramsci, karena eksploitasi bersumber pada sistem ekonomi, maka sejarah harus progresif dari sejarah kapitalisme menuju sejarah sosialisme).



Lalu, dari Foucault, apa yang diambil Said untuk merumuskan konsep intelektual ideal?  Pertama, adalah bahwa penguasa tidak monolitik –tidak hanya pemodal saja, tidak hanya kaum feodal saja – namun menyebar dalam tubuh sosial kemasyarakatan. Kekuasaan bagi Foucault bersifat ada di mana-mana (omnipresent). Kedua, penguasa tidak hanya personal dalam bentuk manusia, namun juga dalam bentuk wacana, dan saluran-saluran yang memproduksikannya seperti media massa, kampus dan lembaga-lembaga intelektual. Maka, melawan dominasi adalah melawan penguasa dan wacana dominan. Itulah tugas intelektual bagi Said. Nanti, ini akan diuraikan. Sebelumnya mari bahas sekilas pemikiran Foucault tentang kekuasaan.



Dalam pemikiran Foucault, kekuasaan tidak memiliki wujud yang konkret dan tidak dapat dipersonifikasi.  Penguasa atas wacana bukanlah kaum pemilik modal dan alat produksi atau kaum intelektual.  Lebih jauh Foucault menjelaskan:

“kekuasaan” dalam arti substantif, tidak ada. Apa yang saya maksudkan adalah ini: Ide bahwa pada suatu titik tertentu terletak –atau dari sana mengalir – “kekuasaan”, bagi saya hanya berpijak pada analisis yang salah arah, sesuatu yang sama sekali tidak berhasil mempertimbangkan sejumlah besar fenomena.  Dalam kenyataannya kekuasaan berarti relasi, sesuatu yang kurang lebih terorganisasikan, hirarkis, sekumpulan relasi yang dikoordinasikan.[7]

Dalam pemikiran Foucault, kekuasaan adalah pengetahuan yang berada di dalam relasi antar subjek dan sama sekali tidak dapat dipersonifikasi.  Harus pula ditambahkan bahwa, dalam pemikiran Foucault, kekuasaan tidak selalu represif, namun juga produktif.  Kekuasaan dalam wujud pengetahuan dapat memroduksi dan menormalisasi subjek, objek dan ritus-ritus kebenaran.[8]



Kekuasaan dalam wujud pengetahuan dapat menormalisasi subjek dengan cara memberikan regulasi tentang mana itu yang baik, yang buruk, yang benar, yang salah, yang boleh, yang tidak boleh, dsb.  Kekuasaan yang dimaksudkan Foucault dapat berupa seperangkat pengetahuan tentang bagaimana seharusnya orang berjalan yang baik, berpakaian yang estetik, makan yang sehat, berolahraga yang baik, berbicara yang santun, dsb.  Dalam hal ini, pengetahuan-pengetahuan tersebut tentu saja tidak semata-mata diciptakan oleh kaum intelektual.  Pengetahuan-pengetahuan tersebut hadir dalam relasi antar subjek, terlepas dari apakah subjek tersebut kaum intelektual, pedagang, politisi, dsb.  Satu hal yang pasti bahwa pengetahuan-pengetahuan tersebut berkuasa atas subjek.  Subjek yang ternormalisasi oleh pengetahuan adalah subjek yang telah ditandai oleh kekuasaan.  Dengan kata lain, subjek yang berpengetahuan adalah subjek yang sudah dikuasai oleh pengetahuan. 



Menurut Chris Weedon –seorang feminis pascastruktural– ada hubungan yang dialektis antara kaum intelektual, lembaga akademis dan diskursus.[9]  Bertahannya sebuah rezim diskursus sebagai pengetahuan yang paling benar, tidak dapat dilepaskan dari peran penting “saluran-saluran” diskursus.  Saluran-saluran tersebut di antaranya adalah kaum intelektual dan lembaga intelektual.  Kelestarian diskursus sangat bergantung pada saluran-saluran ini.



Dari bahu-bahu Benda, Gramsci, dan Foucault inilah Said menjejakkan kaki untuk memandang lebih jauh dan menawarkan konsep intelektualnya. Lalu, apa konsep-konsep kunci Said dalam merumuskan konsep tentang intelektual?



Universalitas moral

Seperti intelektual lainnya, Said setuju bahwa tugas intelektual adalah membebaskan manusia dari penderitaan. Jadi, isu kemanusiaan menjadi pokok pemikiran Said. Dengan demikian dominasi yang dilakukan oleh penguasa terhadap yang terdominasi adalah persoalan yang ingin diatasi oleh Said. Namun pertanyaannya, siapa menguasai siapa? Sebenarnya, idenya lebih luas daripada ide dalam tulisan-tulisannya. Dalam beberapa bukunya, Said sangat menaruh perhatian pada konflik antar bangsa. Antara Barat dan Timur, antara Palestina dan Israel, antara Indonesia dan Timor Timur, antara Amerika dan Vietnam, dll. Said menginginkan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam relasi antar bangsa. Keadilan antar bangsa, Anti penindasan antar bangsa, anti perang antar bangsa, perdamaian, menjadi cita-cita Said. Hal ini bisa dipahami lantaran Said memiliki pengalaman buruk hidup sebagai pengasingan.



Said merupakan intelektual kelahiran Palestina, menghabiskan masa kecil di Mesir, dan dewasa mengajar di Amerika. Dalam hampir seluruh kehidupannya, ia merupakan orang buangan yang terusir dari tanah kelahirannya karena invasi-invasi Israel. Di tanah kelahirannya, ia diusir Israel, di Amerika ia merasa terusir lantara ketimurannya. Hal ini membuat Said merasa mampu merasakan universalitas moral kemanusiaan. Moral kemanusiaan yang lahir bukan karena penindasan yang hadir di mana-mana. Sehingga, bukannya hidup diarahkan untuk melawan penindasan yang dilakukan bangsa. Namun untuk melawan penindasan itu sendiri.



Said menyayangkan adanya intelektual yang menebalkan arsiran-arsiran peperangan atau kebencian antar bangsa. Sebagaimana yang dilakukan oleh Huntington lewat bukunya The Clash of Civilization. Bagi Said, buku itu seperti itu tidak dituntun oleh moralitas universal. Sebab hanya meruncingkan konflik antara Barat dan Islam.



Perjuangan Said membela nasib bangsa muslim palestina benar-benar dituntun oleh logika kemanusiaan universal. Jika dilihat dari kebangsaannya, ia hanya numpang lahir di Palestina. Jika dilihat dari agamanya, ia juga bukan islam. Jadi perlawananannya bukan didasarkan pada, meminjam Benda, gairah politik. Melainkan ide kemanusiaan universal. Said sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut apa itu kemanusiaan yang universal. Namun ia menulis bahwa ide kemanusiaan universal hanya bisa didapatkan jika orang memilih untuk menjadi intelektual sekuler. Apa itu?



Intelektual sekuler/pengasingan

Dalam konsep intelektual sekuler, Said sangat terpengaruh oleh gagasan Benda. Namun bukan tanpa mengritiknya. Said setuju bahwa intelektual hendaknya melepaskan diri dari gairah nasionalitas, ras dan kelas. Namun bukan berarti intlektual harus berdiri di tiang gantungan melihat pertikaian dari pucuk menara gading. Sebaliknya, kaum intelektual harus dibimibing oleh perenungan pribadi mengenai ide kemanusiaan universal, bukan perenungan para ahli-ahli strategi nasional. sebab, jika ide kemnausiaan itu berasal dari para ahli ahli strategi, biasanya justru malah menciderai nasib bangsa lain, sebagaimana yang sering ada dalam kolonialisme:  memandang penindasan adalah sesuatu yang haram, namun pada praktiknya justru menindas bangsa lain dengan modus misi pemberadaban (civilization). Seperti yang diungkapkan oleh Edward Said:

“Bagi intelektual, saya yakin, tugasnya adalah secara eksplisit menguniversalkan krisis, memberi sentuhan manusiawi yang lebih kental terhadap apa yang diderita ras dan bangsa tertentu, mengasosiasikan pengalaman itu dengan penderitaan kalangan lain.[10]

 

Seorang intelektual yang dalam dirinya terinveksi gairah politik, cenderung meratapi penindasan yang dialami oleh bangsanya, kelompoknya, kelasnya, namun justru menjadi pembela utama ketika bangsanya menindas bangsa lain. Seharusnya, jika seorang intelektual merasa tidak nyaman untuk ditindas, maka ia tidak boleh menjadi pembela ketika bangsa menindas bangsa lain. Dalam konteks Indonesia, Said mencontohkan bagaimana intelektual Indonesia ramai mengritik kolonialisme Belanda, namun pada titik sejarah yang lain justru malah membela rezim ketika menginvasi Timor Timur. Artinya, tanpa menjadi intelektual sekuler, sang intelektual itu akan selalu melihat penindas ada di luar sana, tanpa melihat dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri pun bisa menjadi penindas. Seperti dikatakan oleh Said: “Karena orang di pengasingan melihat sekaligus apa yang sudah lampau dan apa yang aktual di sini dan sekarang, ada perspektif ganda yang tak pernah menyaksikan sesuatu dalam isolasi … dari sini, seorang mendapatkan ide yang lebih baik atau lebih universal tentang bagaimana berpikir, katakanlah tentang isu hak asasi manusia dalam sebuah situasi”.[11]



Intelektual dalam dan intelektual luar

Dalam pemikiran Said, kaum intelektual sejati harusnya mewaspadai penguasa baik dalam bentuk personal ataupun wacana. Sebab, bagi Said: “Kekuasaan besar cenderung berupaya menciptakan status minoritas”[12]. Barangkali pandangan Said tentang kekuasaan politik serupa dengan apa yang dinyatakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung merusak atau sering akrab ditulis dengan power tends to corrupt. Secara politis, Said mengakui adanya orang yang benar-benar berkuasa. Ia juga mengakui adanya wacana yang memiliki status otoritatif. Dan, tugas intelektual adalah melawannya.



Akan tetapi, tugas tersebut sulit untuk dilakukan jika intelektual itu masuk ke dalam lingkaran kekuasaan itu. Bagi Said, jika anda menjabat sebagai penasehat Pentagon, kecil sekali kemungkinannya, atau bahkan mustahil untuk menganulir kebijakan invasif Amerika ke Vietnam. Anda juga akan sangat sulit melawan kebijakan-kebijakan amerika di timur tengah terkait islam jika anda sendiri merupakan orang Amerika. Oleh karena itu, tawaran-tawaran Said adalah menjadi intelektual luar kekuasaan (dominan). Bagaimana persisnya yang dimaksud Said sebagai intelektual luar? Apakah intelektual yang secara kehadiran ada di luar kekuasaan dalam arti tidak memiliki kontrak kerja? Ataukah ada pengertian yang lain?



Profesionalisme vs amatirisme

Harus diingat, Said percaya pada gagasan bahwa kekuasaan itu bersifat omnipresent (ada di mana-mana). Dengan demikian jangan berharap intelektual mampu menemukan tempat atau ruang aktualisasi yang bebas dari penguasa. Yang perlu diwaspadai sebetulnya adalah sikap profesional dari seorang intelektual. Yang dimaksud dengan sikap profesional seorang intelektual adalah:

“menganggap pekerjaan anda sebagai intelektual merupakan sesuatu yang dilakukan untuk penghidupan antara pukul sembilan sampai pukul lima, dengan sebelah mata tertuju paa jam dan sebelah lagi melirik pada apa yang dianggap pantas, … , tidak sesat di luar paradigma atau limit yang diterima umum, membuat diri anda layak jual dan di atas segalanya, dapat ditampilkan. Tidak kontroversial dan tidak politis. Namun objektif[13].



Kritik Said tentang profesionalisme merupakan sisi yang menarik dalam kritik nya tentang kaum intelektual. Menjadi menarik karena Said tidak hanya menunjukkan bahwa menghamba kepada kekuasaan adalah pengkhianatan kaum intelektual, sebagaimana yang sudah ditunjukkan pemikir-pemikir sebelumnya. Namun juga Said menjelaskan mengapa menghamba kepada kekuasaan (baik itu personal atau wacana) menjadi suatu hal yang sulit untuk dielakkan. Pertanyaan ini bisa dijelaskan dengan mencermati perkataan Said yang ditulis di atas: 1) sebab kerja intelektual sang intelektual diarahkan untuk mencari penghidupan. 2) maka ia harus bekerja atas nama kelompoknya atau lembaganya. 3) maka ia harus menjaga nama baik lembaga/kelompok. 4) maka pendapat anda harus diterima umum tidak boleh kontroversial–padahal wacana umum sangat bias kekuasaan. Sebab pendapat kontroversial hanya merugikan anda karena menyangkut pekerjaan dan penghidupan, dan merugikan lembaga atau kelompok anda.



Intelektual profesional memiliki 3 ciri. Pertama, mengidamkan spesialisasi. Intelektual profesional dituntut untuk menggeluti bidang yang sangat khusus. Ekonomi saja, atau politik saja, atau humaniora saja, atau yang lain saja. Wawasannya sangatlah terbatas. Menurut Said, hal ini berbahaya. Misalnya, seorang intelektual politik tanpa belajar humaniora berarti melewatkan pelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan universal. Sehingga wajar jika banyak ilmuwan politik yang diam saja ketika negaranya menginvasi atau menjadi imperial atas negara lain. Ciri kedua intelektual profesional adalah mengidamkan sertifikasi. Dalam iklim sosiologis masyarakat sekarang, masyarakat lebih percaya pada intelektual yang bersertifikat yang menyatakan bahwa si fulan adalah jebolan universitas prestisius, atau telah mengenyam pelatihan tertentu di lembaga prestisius. Padahal menurut Said, sertifikat yang bergengsi adalah sertifikat yang otoritatif; sertifikat otoritatif pasti berasal dari lembaga yang otoritatif; sementara itu lembaga otoritatif adalah lembaga erat kaitannya dengan penguasa dan kekuasaan dominan. Padahal, kekuasaan cenderung menindas. Intelektual bersertifikat dengan demikian adalah intelektual yang sudah menggadaikan dirinya pada kekuasaan. Selain itu intelektual bersertifikat pemikirannya akan tersortir mengikuti wacana arus utama yang tentu saja mendukung kekuasaan. Ciri intelektual profesional terakhir adalah ketergantungan pada lembaga sertifikasi dan lembaga donor. Lembaga donor riset selalu mensyaratkan sertifikat. Semakin tinggi sertifikat yang anda dapatkan sebagai peneliti, semakin besar peluang anda untuk mendapatkan donor penelitian. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa jaring-jaring penguasa beroperasi dalam kehidupan profesional intelektual.



Profesionalisme ini harus dilawan dengan amatirisme. Orang amatir adalah orang yang tidak memedulikan spesialisasi. Lebih jauh Said mengatakan bahwa semangat amatirisme adalah: aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit. Semangat intelektual sebagai seorang amatir dapat memasuki dan mengubah kerutinan profesional sehingga menjadi lebih hidup dan radikal. Alih-alih melakukan apa yang diinginkan orang lain, seseorang bisa mempertanyakaan mengapa orang lain melakukannya, siapa yang memetika untung dari sana, bagaimana hal itu bisa dihubungkan kembali dengan proyek pribadi atau pemikiran asal[14]. Menjadi amatir berarti menjadi intelektual yang tidak kebanyakan pertimbangan politis. Logikanya berpikirnya hanya didominasi oleh kebenaran yang diyakininya dan bagaimana mewujudkannya. Intelektual amatir juga tidak memedulikan spesialisasi apalagi sertifikat. Ia berbicara tulus karena melihat persoalan bagaimana adanya. Yang tidak kalah penting, intelektual amatir, karena jauh dari lembaga sertifikasi pemikirannya belum tersortir oleh praktik diskursif wacana dominan.



Referensi:



Alexander Irwan, 2006,  “Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, diedit oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, Jakarta: Equinox Publishing, hal. 31.



Chris Harman, 2002, A People’s History of The World, London: Bookmarks Publication, hal. 19-21



Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal 62.



Edward Said, 1998,  Peran Kaum Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993diterjemahkan oleh Rin Hindryati P. dan P. Hasudungan Sirait,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 33



Julien Benda, 1999, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, terj. Winarsih P. Arifin, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 27-51.



K. Bertens, 2001, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hal. 322.



Martin Hollis, 1997, “What Truth? From Whom And Where?”, dalam  Intellectuals In Politics: From The Dreyfus Affair to Salman Rushdie, diedit oleh Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch, London: Routledge, hal. 291-293



Mohammad Hatta, 1983, “Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia”, dalam Cendekiawan dan Politik, diedit oleh Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, Jakarta: LP3ES, hal. 7-8



Richard Bellamy, 1997, “The Intellectual As Social Critic.”  Dalam Intellectuals In Politics: From The Dreyfus Affair to Salman Rushdie, diedit oleh Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch, hal. 35.




[1] Chris Harman, 2002, A People’s History of The World, London: Bookmarks Publication, hal. 19-21
[2] Mohammad Hatta, 1983, “Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia”, dalam Cendekiawan dan Politik, diedit oleh Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, Jakarta: LP3ES, hal. 7-8
[3] Martin Hollis, 1997, “What Truth? From Whom And Where?”, dalam  Intellectuals In Politics: From The Dreyfus Affair to Salman Rushdie, diedit oleh Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch, London: Routledge, hal. 291-293
[4] Julien Benda, 1999, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, terj. Winarsih P. Arifin, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 27-51.
[5] Ibid, 1-2.
[6] Richard Bellamy, 1997, “The Intellectual As Social Critic.”  Dalam Intellectuals In Politics: From The Dreyfus Affair to Salman Rushdie, diedit oleh Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch, hal. 35.
[7] Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal 62.
[8] K. Bertens, 2001, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hal. 322.
[9] Alexander Irwan, 2006,  “Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, diedit oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, Jakarta: Equinox Publishing, hal. 31.
[10] Edward Said, 1998,  Peran Kaum Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993,  diterjemahkan oleh Rin Hindryati P. dan P. Hasudungan Sirait,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 33
[11] Ibid, 45
[12] Ibid, 16-17.
[13] Ibid, 55-56
[14] Ibid, 62-63


[1] Dibuat sebagai bahan diskusi Bedah Buku Peran Intelektual di IMM Averroes pada Hari Rabu, 8 April 2015 
Lebih baru Lebih lama