Perempuan, Pelecehan Seksual, dan Keperawanan 

Oleh :
Yolanda Nura Izzaty
(Anggota bidang IMMawati PK IMM Averroes FT UMS 2020/2021)


“If knowledge is power, power is also knowledge, and a large factor in their subordinate position is the fairly systematic ignorance patriarchy imposes upon women.”
― Kate Millett, Sexual Politics.

Meaning :

“Jika pengetahuan merupakan kekuatan, kekuatan juga merupakan pengetahuan, dan faktor terbesar posisi bawah mereka adalah ketidaktahuan yang cukup sistematis yang dibebankan patriarki pada perempuan.”

― Kate Millett, Sexual Politics.


Seperti yang dikatakan Kate Millett bahwa ketidaktahuan patriarki yang di bebankan pada kelas sosial perempuan hanya karena masih banyak yang berfikir bahwa laki-laki akan dominan memegang kekuasaan dibanding perempuan. Begitu pula dengan kekuatan yang dimiliki perempuan, masih banyak dari kita yang berfikir bawa perempuan belum bisa sekuat laki-laki. Pemikiran seperti ini tidak hanya lahir dari pemikiran laki-laki saja, tapi dari perempuan sendiri pun ada yang masih berfikiran seperti ini. Membuat kekuatan yang ada didalam diri perempuan menjadi lemah karena pemikiran yang tidak di dasari oleh keyakinan dan kepercayaan diri sendiri.

Kekuatan dan kekuasaan merupakan dua hal yang penting untuk mendapatkan hidup yang nyaman dan aman dalam kehidupan yang keras, jika salah satu tidak dimiliki kemungkinan hidup seseorang tidak akan berjalan mulus, begitu juga dengan perempuan ketika mendapatkan pelecehan seksual. Pelecehan seksual bukan hanya pemerkosaan tapi pelecehan seksual memiliki banyak jenis termasuk pelecehan secara verbal melalui perkataan yang sering terjadi.

Kita sering mendengar pembicaraan orangtua tentang perbedaan cara mendidik anak laki-laki dan anak perempuan. Jika memiliki anak laki-laki fokus orangtua mungkin hanya kepada bagaimana bisa menafkahi dengan benar, dibekali pengetahuan agama dan keterampilan untuk lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Jika memiliki anak perempuan fokus orangtua akan menjadi banyak seperti syarat-syarat pada umumnya yang sudah menjadi tradisi turun-temurun bahwa perempuan harus perawan, harus sabar dan mengalah dalam menghadapi laki-laki, harus bisa memasak, harus bisa memberi keturunan dan bisa mengurus anak.

Tetapi bagaimana jika perempuan telah dilecehkan dan di perkosa hingga membuat selaput darah atau keperawanan nya hilang? Padahal sedari kecil mereka sudah di doktrin bahwa perempuan harus selalu perawan hingga mereka menikah nanti, jika tidak perawan bisa jadi tidak ada laki-laki yang mau menikahinya. Perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual hingga merusak keperawanannya kemungkinan tidak akan berani mengakui bahwa ia telah dilecehkan, selain karena malu membuka aib sendiri yang berakibat di kucilkan dari masyarakat juga diancam oleh pelaku.

Ada juga perempuan yang mengaku tetapi pada akhirnya mereka tidak mendapat dukungan sama sekali, baik itu dari dalam keluarga maupun masyakarat luas. Ketika ia melapor pada keluarga bahwa ia telah dilecehkan bukannya mendapat dukungan tetapi hinaan karena bagi sebagian orangtua masih ada yang berfikir bahwa pelecehan seksual merupakan aib yang harus ditutupi, membuat kejahatan pelaku menjadi tertutupi. Dan kenyataan ini membuat perempuan korban pelecehan seksual makin terpuruk.

Biasanya pelecehan seksual lebih sering terjadi pada anak-anak dibawah umur, dan kenapa bisa terjadi pada mereka? Masih banyak orangtua yang beranggapan bahwa seks merupakan hal yang tabu untuk di diskusikan bersama anak-anak, alhasil mereka mengetahui tidak dari orangtua mereka, akibatnya mereka sedari dini tidak mengetahui bagian tubuh mana saja yang tidak boleh di sentuh orang lain. Anak-anak menjadi mudah di tipu oleh pelaku pelecehan seksual.

Bagaimana nasib para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual? Kebanyakan mereka tidak mendapatkan pembelaan dari pihak manapun, seakan akan bukan mereka yang salah. Masyarakat masih sering menyalahkan korban atas tindak pelecehan seksual contohnya seperti “salah siapa memakai baju terbuka, jelas mengundang hawa nafsu laki-laki dong” padahal selain menjaga cara berpakaian sebagai kaum perempuan, kaum laki-laki pun juga harus bisa mengontrol pikiran kotornya terhadap perempuan.

Dalam diskusi bersama Prof. Alimatul Qibtiyah pada sesi tanya jawab seorang audience bertanya “mengapa masih banyak orang percaya kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual dikarenakan baju yang tidak pantas atau senonoh? Padahal yang berhijab pun juga menjadi korban” dan jawaban yang sangat mengenang adalah jawaban beliau bahwa masih melekatnya pemahaman pemahaman tekstual dan misoginis yang ada di masyarakat kita, masih meyakini bahwa sumber fitnah itu adalah harta tahta wanita sehingga ketika terjadi kekerasan yang disalahkan wanita nya karena dianggap sumber fitnah dan itu merupakan pemahaman pemahaman tekstual dan yang perlu kita upayakan adalah bagaimana kita menawarkan penafsiran penafsiran yang kontekstual.

Untuk para perempuan pesan untuk kita, mungkin tidak semua laki-laki akan mempermasalahkan keperawanan mu, karena masa lalu tidak bisa dirubah bagaimanapun caranya, dan tidak ada yang bisa mencegah masa lalu itu terjadi.